Menuju Swasembada

Pangan 2017

Kementerian Pertanian Republik Indonesia bertekad untuk mewujudkan pertanian industrial unggul berkelanjutan berbasis sumber daya lokal demi meningkatkan kemandirian pangan, ekspor dan kesejahteraan petani.

KOMPAS.com/M Anas - Ilustrasi peternakan sapi
Senin, 3 Maret 2014

Kurangi Impor Sapi, Peternakan Terintegrasi


JAKARTA, KOMPAS - Peternakan sapi diarahkan untuk terintegrasi dengan perkebunan supaya swasembada bisa secepatnya dicapai. Selama ini, ketergantungan terhadap impor sapi makin mengkhawatirkan.

Perencanaan indikatif impor sapi tahun 2014 mencapai 700.000 ekor. Pada triwulan I-2014, Kementerian Perdagangan sudah menerbitkan surat persetujuan impor sebanyak 130.245 sapi bakalan untuk 35 importir dan 26.360 sapi siap potong kepada 16 importir.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi di Jakarta, pekan lalu, menjelaskan, peternakan sapi bisa diintegrasikan dengan perkebunan tebu. ”Dalam sejumlah pertemuan antarkementerian, ada kesepahaman bahwa program swasembada sapi harus dipercepat. Salah satunya dengan mengintegrasikan peternakan dengan perkebunan,” kata Bachrul.

Dalam beberapa tahun ke depan, impor sapi indukan akan dipermudah supaya makin banyak pengusaha tertarik masuk bisnis penggemukan dan pembibitan sapi. Tahun ini, impor sapi indukan ditargetkan bisa mencapai 187.000 ekor dan jumlahnya akan terus dinaikkan hingga mencapai 1 juta sapi per tahun. Dengan populasi sapi indukan 1 juta sapi, Indonesia akan lebih mudah mencapai swasembada dan tidak bergantung pada daging sapi dari impor.

Daging sapi merupakan salah satu kontributor inflasi dari sektor bahan makanan. Untuk mengurangi tekanan komoditas sapi terhadap inflasi dan meningkatkan ketahanan pangan, Bank Indonesia menyusun beberapa kluster. Direktur Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia Yunita Resmi Sari menjelaskan, kluster itu antara lain Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, serta Sulawesi, Maluku, dan Papua.

”Program ini menitikberatkan pada koordinasi dengan instansi setempat,” kata Yunita. (AHA)