Advertorial

Peluang Produk Halal sebagai Komoditas Baru Negara

Kompas.com - 01/07/2015, 09:56 WIB

KOMPAS.com - Memasuki bulan suci Ramadhan umat muslim Indonesia masih dihantui oleh masalah produk halal dan non-halal. Logo halal memang menjadi indikator sebuah produk untuk dapat dikonsumsi secara aman oleh umat muslim.

Namun, halal atau tidaknya suatu produk tak sesederhana didasarkan apakah produk tersebut mengandung babi atau tidak, tapi lebih kepada proses hingga ke tangan konsumen. Selain itu, produk halal saat ini telah dipandang sebagai tren global dan menjadi peluang baru komoditas ekspor Indonesia.

“Masyarakat saat ini sudah sadar betul terhadap produk-produk berkualitas, melihat produk halal sebagai sebuah tren global tersebut Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim tentunya tidak boleh hanya menjadi pasar dari produk-produk halal yang di ekspor negara lain.” Ujar Irman Gusman, Ketua Dewan Perwakilan Daerah dalam acara Dialog Pangan Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta (29/06/2015).

Irman menjelaskan, Indonesia harus menjadi pusat produk halal dunia, untuk itu pembenahan proses industri khususnya yang bergerak di bidang pangan menjadi hal penting. Menurutnya, Indonesia tak boleh ketinggalan, karena halalnya suatu produk selain untuk kepentingan umat muslim tapi juga menjadi acuan untuk kelayakan konsumsi maupun kesehatan. Saat ini produk halal telah menjadi sebuah tren global. Tantangan tersebut itulah yang harus mampu dihadapi untuk bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Rahmat Gobel dalam dialog tersebut juga ikut menyampaikan pandangannya mengenai halalnya suatu  produk.

“Produk disebut non-halal bukan hanya karena mengandung babi tetapi juga prosesnya, mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan, proses pembuatan hingga ke tangan konsumen. Jika salah satu proses tidak terpenuhi bisa menjadikan produk tersebut tidak halal,” ujar Menteri Perdagangan Republik Indonesia Rahmat Gobel dalam acara Dialog Pangan Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta (29/06/2015).

Lebih jauh Rahmat menyampaikan bahwa produk halal dapat menjadi lahan komoditas baru. Ia mencontohkan negara Jepang yang walaupun mayoritas penduduknya non-muslim menjadikan produk-produk dengan lisensi halal pada Olimpiade 2020 menjadi isu penting. Hal itu disebabkan mereka melihat jumlah pengunjung dari negara-negara di timur tengah kian meningkat.

Bila Indonesia fokus pada pengembangan produk halal bukan tak mungkin menjadikannya produk ekspor untuk kategori halal. Ia berharap di Asian Games 2018 nanti Indonesia sudah bisa mensosialisasikan produk halal.

Hal tersebut diamini oleh Asrorum Ni’am Sholeh, Ketua Komite Syariah World Halal Food Council/Komisi Fatwa MUI Pusat. Asrorum menyampaikan bahwa urusan kehalalan bukan spesifik mengenai hal agama, namun telah menjadi sebuah tren global yang bisa diterima dalam aspek ekonomi, identitas, dan kesehatan.

Halal adalah sebuah nilai yang bisa diterima seluruh masyarakat. Dengan produk halal semua masyarakat bisa dilibatkan, namun jika tak ada jaminan halal maka akan ada barrier terhadap masyarakat yang hanya mengonsumsi produk halal.

“Negara-negara yang tak memiliki pondasi ajaran islam seperti Australia dan Selandia Baru telah memberikan perhatian terhadap isu halal contohnya terkait penyembelihan hewan. Bahkan di World Halal Food Council walikota Roma secara mantap menegaskan bahwa Roma secara serius mengembangkan produk dengan sertifikat halal dengan tujuan ingin diterima secara global sebagai sebuah kota yang mengandalkan sektor pariwisata.” Kata Asrorum.

Secara Makro dalam Dialog Pangan Kita Irman mengungkapkan, masalah pangan bukan hanya soal ketahanan tapi sudah sampai kedaulatan pangan.

“Di dunia ini kita mengenal 3F Crisis, yaitu fuel crisis, financial crisis, dan food crisis, seharusnya hal itulah yang harus diusahakan pemerintahan Jokowi-JK bahwasanya suatu saat kita harus menjadi negara swasembada pangan dalam segala hal.”

Menyoal harga-harga kebutuhan yang semakin naik, lebih jauh Irman menjelaskan DPR dan DPD memiliki komitmen tinggi terhadap masalah ketahahan pangan. Berbagai produk beredar tak semata hanya bergantung pada mekanisme pasar, tapi juga harus memikirkan faktor kepentingan dalam negeri dalam hal ini adalah petani tanah air.

“Kita lihat negara Vietnam dan Thailand sedang mengalami surplus pangan sehingga mereka bisa menjalankan politik dumping dengan menjual pangan lebih murah ke negara-negara lain. Tapi menteri perdagangan menjaga untuk tidak impor. Tapi masyarakat merasakan bahwa harga-harga semakin naik, hal tersebut bisa terjadi kalau kita hanya melihat segala sesuatu dari supply dan demand saja.” Ungkap Irman. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com