DPD RI Kritik Kebijakan Impor yang Sebabkan Krisis Pangan

Kompas.com - 20/08/2015, 09:28 WIB


Wakil Ketua Komite II DPD RI Ahmad Nawardi kritik tingginya angka impor produk yang berdampak pada krisis pangan di berbagai daerah. Menurutnya, impor sebagai salah satu hal yang mampu merusak produksi petani dapat terus berjalan karena tidak disebutkan batasannya di undang-undang pangan.

“Di dalam UU No. 18 tahun 2012 tidak disebut bahwa impor adalah salah satu yang merusak produksi petani, makanya impor terus jalan. Seandainya disebutkan di UU, saya yakin tidak akan ada impor,” kata ia pada Diskusi Kenegaraan dengan topik “Reshuffle: Solusi Stabilkan Gejolak Harga Pangan?” di Kompleks MPR/DPR/DPD RI Senayan Jakarta, Rabu (19/8/2015).

Ia mengatakan ada undang-undang yang polanya liberal dan tidak menguntungkan petani. “Saya kira perlu dikaji ulang seluruh UU yang polanya sudah sangat liberal. Perlu revisi dari teman-teman di DPR,” tutur senator asal Jawa Timur ini.

Maraknya impor justru dapat menimbulkan krisis pangan, yakni menurunnya produksi pangan di beberapa daerah. Menurut Ahmad dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir, penurunan produksi atau krisis pangan sudah dialami beberapa daerah, salah satunya Nusa Tenggara Timur (NTT).

Fakta tersebut juga dibeberkan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron dalam Diskusi Kenegaraan tersebut. Ia mengatakan daerah pemasok sapi Nusa Tenggara barat (NTB) melapor tidak bisa mengirim sapi ke Pulau Jawa karena harganya tidak kompetitif. Hal tersebut disebabkan ketidaklancaran sistem distribusi dan infrastruktur penunjangnya.

“Sapi Australia jauh lebih murah daripada sapi NTB atau NTT. Selama infrastruktur dan sistem distribusi tidak dibenahi, harga tidak akan pernah kompetitif. Impor terus berjalan dan berpotensi melahirkan kartel atau mafia,” tutur Herman.

Ahmad juga menambahkan soal peningkatan angka impor protein hewani. Konsumsi ayam ras dan telur ayam ras semakin meningkat tajam. “Padahal 100 persen sahamnya oleh asing,” katanya.

Sementara, konsumsi ayam kampung turun drastis lima tahun terakhir ini. “Padahal itulah yang diproduksi rakyat kecil,” ujar Ahmad.

Ahmad berharap pemerintah dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir 2015 mendatang, perlu merevisi UU tentang pangan. “Menurut saya ke depan pemerintah perlu kembali merevisi UU tentang pangan yang mulai ada pola liberal,” kata ia.

Soal tak disinggungnya impor di UU No. 18 Tahun 2012, Herman mengklarifikasi, bahwa di UU tersebut ada batasan, yakni impor boleh dilakukan apabila komoditas tidak diproduksi di dalam negeri dan stok komoditas dalam negeri sedang kurang. “Tentu ini adalah batasan. Persoalannya adalah pengimplementasiannya oleh pemerintah,”  ujar Herman. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com