Berkat BPPT dan Pihak Swasta, Riset Bioteknologi Tak Lagi Jalan di Tempat

Kompas.com - 26/10/2015, 14:50 WIB


Sebagai salah satu negara berkembang dengan sumber daya alam yang begitu melimpah, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan penelitian bioteknologi pertanian yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan. Indonesia sendiri sebenarnya sudah sejak lama mengembangkan bioteknologi, namun baru segelintir produk rekayasa genetik (PRG) yang siap dikomersilkan.

Bioteknologi adalah teknologi pertanian yang memanfaatkan prinsip-prinsip ilmiah dan rekayasa genetik. Rekayasa genetik dilakukan dengan cara menerapkan teknologi biologi molekuler pada tanaman atau bahan dasar makanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan sifat-sifat yang diinginkan. Sebagai contoh, peningkatan resistensi pada tanaman pagi atau tebu terhadap kekeringan atau penyakit yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus.

“Bioteknologi merupakan salah satu tools yang digunakan dalam pengembangan di berbagai bidang teknologi, antara lain bidang pertanian dan kesehatan. Kehadiran bioteknologi di bidang pertanian sangat dibutuhkan dalam pengembangan teknologi pertanian pada masa depan. Teknologi pertanian yang diterapkan dan dikembangkan saat ini pada umumnya masih berorientasi pada pertanian konvensional, seperti penambahan bibit tanaman di tingkat petani yang masih mengandalkan stek dan penanaman biji,” ujar Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Agroindustri dan Bioteknologi Eniya Listiani Dewi. 

Eniya melanjutkan, “Kehadiran bioteknologi di Indonesia sangat diperlukan, karena bioteknologi dapat meningkatkan potensi alam yang ada, sehingga memiliki nilai tambah yang signifikan. Selain itu, bioteknologi dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi proses produksi barang dan jasa, sehingga punya nilai ekonomis yang lebih baik.”  

Memang, menghasilkan PRG bukanlah perkara mudah. Sebab, dibutuhkan lembaga riset berteknologi tinggi untuk melakukan beberapa hal, mulai dari pengembangan benih hingga uji coba kelayakan melalui proses secara bertahap yang memakan waktu lama. Uji coba kelayakan sendiri wajib dilakukan agar tidak menimbulkan dampak negatif, baik itu dari segi keamanan pangan, pakan maupun lingkungan.  

Seperti yang diakui secara langsung oleh Eniya, “Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan dan kemajuan bioteknologi tidak lepas dari riset yang telah dilakukan. Saat ini, pihak industri sudah mulai menyadari pentingnya riset untuk meningkatkan nilai tambah produk, sehingga divisi research and development (R&D) dibentuk sebagai ujung tombak dalam pengkajian dan penelitian untuk mendapatkan produk dan jasa di bidang bioteknologi. Di BPPT, kemajuan bioteknologi di bidang pertanian sudah dilakukan dalam upaya mendapatkan bibit-bibit unggul melalui teknologi kultur jaringan dan pengkajian aplikasi bioteknologi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas peternakan.”

Eniya juga menceritakan bahwa saat ini mulai bermunculan lembaga-lembaga riset lokal yang memiliki kemampuan sekaligus daya saing untuk mengembangkan bioteknologi di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah BPPT yang memiliki fasilitas riset lengkap, terakreditasi dan terstandar.  Belum lagi para peneliti yang sangat ahli dan kompeten di bidangnya. Dari situ, timbullah peluang sekaligus tantangan untuk mengembangkan dan mengaplikasikan bioteknologi di Indonesia demi menghasilkan produk barang atau jasa yang memiliki nilai tambah.

Namun, ada salah satu kendala dalam mengembangkan bioteknologi, yaitu kebutuhan investasi yang cukup besar. Saat ini, lembaga – lembaga riset dan aktivitas penelitian bioteknologi ini dapat semakin berkembang salah satunya karena minat pihak swasta, baik domestik maupun investor dari luar negeri untuk mengembangkan bioteknologi. Oleh karena itu, peran swasta sebagai kolaborator riset dan pengembangan diharapkan dapat semakin ditingkatkan. Setiap lembaga riset bioteknologi membutuhkan bantuan dan dukungan dari pihak swasta, entah itu individu maupun perusahaan sebagai investor. Eniya menjelaskan bahwa peran pihak swasta tersebut tak hanya sebatas sebagai penyalur dana, tetapi turut andil dalam merencanakan produk bioteknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia, meneliti serta mengkaji produk bioteknologi, memproduksi, kemudian memasarkan produk bioteknologi yang dihasilkan.

“Saat ini, BPPT bekerja sama dengan pihak swasta dalam mengkaji dan mengaplikasikan produk barang dan jasa bioteknologi di bidang pertanian. Deteksi penyakit pada kelapa sawit dengan memanfaatkan biomolekuler  telah dikerjakan dengan salah satu perusahaan multinasional di bidang perkebunan kelapa sawit. Produk vaksin ikan telah dikaji dan akan digarap bersama salah satu perusahaan obat swasta nasional. BPPT juga sedang menjalin kerja sama dengan pihak lain dari BUMN dan swasta untuk mengembangkan produk bioteknologi kesehatan. Kerja sama ini bersifat simbiosis mutualisme, dimana BPPT menyediakan sumber daya manusia, sementara pihak swasta menyediakan laboratorium untuk uji coba dan dana untuk produksi,” terangnya.

“Saya berharap konsep bioteknologi bisa diterapkan secara penuh untuk menjadikan Indonesia lebih baik dan hebat lagi. Sebab, kita punya nawacita, dimana topik pangan pertanian dan obat kesehatan merupakan dua target utama dalam semua program kita di BPPT. Konsep kolaborasi harus digalakkan, karena biaya fasilitas untuk pengembangan bioteknologi itu relatif mahal. Dengan adanya fasilitas yang memadai, serta kerja sama yang solid dalam penggunaan laboratorium, saya yakin production cost akan menurun,” pungkas Eniya.

Ketika ditanya seputar hasil kerja sama antara BPPT dan berbagai pihak swasta, Eniya menjawab, “Sudah banyak sekali produk-produk bioteknologi yang sudah dihasilkan BPPT bersama pihak swasta, seperti teknologi pembibitan kelapa sawit dengan PT Sinar Mas dan teknologi produksi karet dengan Bridgestone. Kami juga bekerja sama dengan PT Astra Agro Lestari untuk perbanyakan bibit tanaman, deteksi dini penyakit yang disebabkan ganoderma pada tanaman kelapa sawit, dan peningkatan kesuburan lahan kelapa sawit melalui implementasi konsorsia mikroba. Selain tiga perusahaan yang telah saya sebutkan tadi, BPPT juga menjalin kerja sama yang baik dengan PT Petrosida Gresik, PT Fuji Oil dan PT Kimia Farma.”

Dari sejumlah perusahaan yang bekerja sama dengan BPPT, PT Astra Agro Lestari termasuk perusahaan yang paling aktif dan produktif dalam pengembangan teknologi produksi kelapa sawit. Keduanya saling bahu-membahu dalam mengembangkan deteksi dini penyakit ganoderma, yaitu kapang-kapangan yang dapat menurunkan produksi kelapa sawit hingga 70 persen, pada tanaman kelapa sawit. Hasil kerja sama lainnya adalah embrio rescue, yaitu upaya pengamanan proses pemindahan benih kelapa sawit agar tetap memiliki daya tumbuh yang baik.

Eniya merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang memiliki keyakinan besar terhadap bioteknologi. Saat wawancara berlangsung, ia menjabarkan beberapa dampak positif berikut manfaat dari bioteknologi, “Deteksi dini terhadap penyakit ganoderma menggunakan bioteknologi dapat menekan biaya produksi kelapa sawit pada tingkat budidaya, karena tanaman muda yang terinfeksi penyakit dapat terdeteksi dari awal, sehingga dapat segera dimusnahkan. Sedangkan penerapan konsorsia mikroba pada tanah-tanah minim unsur hara atau lahan dengan tingkat kesuburan rendah dapat meningkatkan produksi tanaman jagung sebesar 20 persen. Di sisi lain, penggunaan pupuk kimia dapat ditekan hingga 40 persen.” (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com