Menuju Swasembada

Pangan 2017

Kementerian Pertanian Republik Indonesia bertekad untuk mewujudkan pertanian industrial unggul berkelanjutan berbasis sumber daya lokal demi meningkatkan kemandirian pangan, ekspor dan kesejahteraan petani.

Kementerian Pertanian - Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di Desa Toshiba, Kecamatan Samaturu, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Sabtu (24/10/2015).
Selasa, 3 November 2015

Penting, Kontribusi Akademisi untuk Pembangunan Pertanian



KOMPAS.com - Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Satya Gama, Medy Pramady, memberikan catatan ihwal pentingnya kontribusi akademisi untuk pembangunan pertanian. Catatan ini merupakan tanggapan terhadap pandangan Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa.

Pertama, menurut Medy, Dwi Andreas meragukan ihwal peningkatan produksi pertanian sebagaimana termaktub di dalam artikel yang bersangkutan di media Investor Daily edisi 12 Januari 2015. Dwi Andreas menyebut kemunduran musim tanam merupakan salah satu faktor penyebab produksi tahun ini tidak akan meningkat signifikan dari tahun lalu. “Memang benar musim tanam mengalami kemunduran selama 1,5 bulan karena kekeringan yang melanda akhir tahun lalu. Tapi dalam kurun musim tanam Oktober-Maret, luas tanam tercatat mengalami kenaikan hingga 400.000 hektar,” kata Medy.

Data yang dihimpun dari Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan, lahan yang terdampak banjir dan hama hingga Juli yaitu 52.000 ha. Angka ini turun dari periode sama tahun sebelumnya yaitu 159.000 ha. “Data ini sekaligus menjawab rekomendasi Andreas yang di salah satu surat kabar tertanggal 2 Juli 2015 (Kompas) yang menyebut peningkatan luas lahan tanam harus dilakukan untuk meningkatkan produksi,” ujarnya.

Kedua, soal El Nino. Di tengah perjalanan, kabar akan kedatangan El Nino pun merebak. Angin kering ini tiba di Tanah Air pada akhir Juli lalu. Dicermati kedatangannya sejak tahun lalu, Kementan pun memutuskan mencuri start untuk membagikan pompa air. “Sejak awal Juli Kementan telah membagikan sedikitnya 20.000 pompa air ke daerah-daerah yang endemis kekeringan. Kementan menggelontorkan dana hingga Rp 800 miliar dari pergeseran APBN untuk pembagian pompa air tersebut,” terang Medy.

Medy menambahkan, hingga akhir September, gagal panen atau puso akibat kekeringan tercatat seluas 114.707 ha. Untuk membantu petani yang terkena puso, Kementan menyiapkan bantuan benih dan pupuk untuk tanam kembali seluas 105.000 ha.

Fakta berikutnya yaitu menurut BMKG, lanjut Medy, El Nino yang muncul tahun ini lebih berat dari yang terparah sebelumnya yaitu pada 1997. Saat itu, penduduk Indonesia masih berjumlah 205 juta jiwa dan Indonesia mengimpor beras hingga 7,1 juta ton. “Tahun ini, hingga detik ini realisasi impor beras belum ada dan rencana impor beras hanya untuk berjaga-jaga karena El Nino yang semakin mengkhawatirkan,” tambahnya.

Ketiga, soal keterlambatan benih dan pupuk tiba di petani. Mady menjelaskan, saat usia kepemimpinannya masih berumur dua minggu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman  memutuskan menghadap Presiden Joko Widodo untuk mengubah regulasi terkait penyaluran benih, pupuk, dan alat mesin pertanian (alsintan) yang selama ini selalu menghambat peningkatan produksi pangan. “Sebelumnya, pengadaan benih, pupuk dan alsintan harus melalui tender, namun sekarang dapat ditunjuk langsung. Mentan pernah mengatakan, potensi produksi bisa menurun kalau ketiga faktor ini datang terlambat. Jokowi pun menyetujui regulasi itu diubah,” paparnya.

Artinya, terang Medy, ada upaya agar ketepatan penyaluran benih terus diperbaiki. Sampai saat ini, keluhan mengenai keterlambatan penyaluran kian berkurang. Menurut keterangan Andreas dalam mingguan Agro Indonesia tertanggal 14 April 2015, 50 persen benih bersubsidi tidak digunakan petani karena selalu datang terlambat.

Keempat, ada pula masukan soal panjangnya rantai distribusi. Dalam sebuah surat kabar yang terbit pada 26 Mei 2015, Andreas menyebut rantai pasokan beras masih panjang sehingga harganya tinggi dan sulit dikendalikan jika ada lonjakan.

Medy mencatat, persoalan rantai pasok sesungguhnya merupakan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Kementerian Perdagangan. Tapi patut dicatat, Kementan memiliki upaya tersendiri, yaitu pendirian Toko Tani Indonesia (TTI). “TTI diyakini akan memangkas rantai pasokan menjadi 3-4 titik dari sebelumnya 7-8 titik. Sampai sekarang, ada sedikitnya 100 TTI tersebar di Jabodetabek,” ungkap Medy.

Medy menambahkan, dalam rencana anggaran 2016 yang diajukan ke Komisi IV DPR RI, Kementan mengalokasikan Rp 200 miliar untuk pembangunan 1.000 TTI sepanjang tahun depan. Pola TTI yaitu memperbesar peran Perum Bulog sebagai penyedia stok pangan. Bulog nantinya akan menyerap langsung dari petani dan akan disuplai ke TTI seluruh Indonesia.

Kelima, soal impor bawang merah. Dalam surat kabar Sinar Harapan tertanggal 9 Juni 2015, Andreas menyebut pemerintah harus berhati-hati dengan para spekulan bawang merah dan jangan sampai memutuskan impor. Situasinya saat menjelang Ramadhan dan saat Ramadhan memang harga bawang merah di pasar amat tinggi, mencapai Rp 40.000 per kilogram. Jika melihat hukum supply and demand, jelas semua kalangan menilai ada kekurangan pasokan di pasar.

Kala itu, rapat kabinet memutuskan impor bawang merah harus dilakukan. Mentan lalu meminta penangguhan dua hari untuk terbang ke Bima dan NTB, membeli bawang merah di tingkat petani sebesar Rp 6.000-Rp 7.000 per kilogram, lalu mengguyur pasar Jakarta. “Harga komoditas itu langsung terkerek hingga Rp 17.000 per kilogram. Kita bahkan ekspor bawang merah 4.500 ton,” ujar Mentan.

Sementara itu, Dirjen Hortikultura Spudnik Sudjono memiliki cara lain. Sembari membangun infrastruktur, dia menyusun pola tanam bawang merah agar dapat dipanen sepanjang tahun. Komitmennya, sepanjang 2016, Indonesia tidak akan lagi impor bawang merah.

Keenam, soal ketidakakuratan data. Andreas menyebut data produksi dan konsumsi saat ini tidak akurat ( tercantum di Harian Republika, 23 Maret 2015). Selama ini, data yang digunakan oleh Kementan merupakan data lapangan dan data yang dirilis oleh BPS.

Menanggapi hal ini, Kementan pun mengundang sejumlah ekonom pertanian untuk melakukan kalibrasi data. Pasalnya, data merupakan dasar dalam menentukan kebijakan. “Urusan data, negara telah memberikan tugas ini pada BPS. Setiap tahunnya, triliunan dana mengalir ke lembaga tersebut. BPS telah terbentuk 1957 dan merupakan lembaga statistik satu-satunya Tanah Air,” tegas Medy.

Terakhir, soal kebijakan impor. Dalam surat kabar Koran Tempo tertanggal 29 Oktober 2015, Andreas menyebut Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 222.000 ton pada semester pertama tahun ini. Adapun, volume yang juga dipublikasikan oleh BPS ini sesungguhnya merupakan impor beras khusus untuk kebutuhan Rumah Sakit yang rekomendasi impornya diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.

Di lapangan, panen masih berlangsung di daerah-daerah di atas khatulistiwa dan meski dilanda puso, Jawa Barat masih menjadi penyumbang beras terbesar di Pasar Induk Cipinang. Sepekan terakhir, harga beras bahkan turun Rp 500-Rp 700 merespons pasokan yang masih melimpah.

Dalam artikel yang sama, Andreas menyatakan, sudah saatnya pemerintah Jokowi berhenti beretorika dan pencitraan melalui berbagai pernyataan yang tidak didasari fakta dan data yang akurat. Berkenaan dengan hal itu, Medy berpandangan bahwa Dwi Andreas harus memiliki data akurat terkait pernyataannya.

Medy mengingatkan, Dwi Andreas  harus lebih meningkatkan pemahaman akan kondisi lapangan yang lebih komprehensif sehingga pemikiran-pemikiran yang cemerlang akan lebih banyak memberikan kontribusi yang positif terhadap kemajuan bangsa dan penyelesaian masalah pangan nasional secara sinergis.

Josephus Primus

Pekerja melintas di atas gabah yang tengah dijemur di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat pada Selasa (20/10/2015). Kementerian Pertanian menyebutkan, pada 2015, pemerintah tidak melakukan impor beras konsumsi. Menurut data Angka Ramalan I Badan Pusat Statistik produksi pada sepanjang 2014-2015 mencapai 75,551 juta ton padi.