Wakil Ketua DPD RI Bisa Pahami Keluarnya SE Kapolri Tentang "Hate Speech"

Kompas.com - 09/11/2015, 12:54 WIB


Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Farouk Muhammad menyampaikan pandangannya tentang Surat Edaran (SE) mengenai penegasan penanganan ujaran kebencian (Hate Speech), yang telah ditandangani oleh Kapolri Jendral Badrodin Haiti, pada (08/10/2015), dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia.

“Saya dapat memahami dan mendukung pelaksanaan secara efektif kebijakan tersebut menilik beberapa keluhan warga akan adanya kenyataan, terutama di media sosial, yang acapkali mengekspresikan kebencian dalam berkomunikasi” ujar Farouk Muhammad dalam keterangan persnya pada hari sabtu, (7/11/2015)

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Anton Charliyan menjelaskan bahwa surat tersebut merupakan hasil pembelajaran untuk mencegah terjadinya kembali konflik horizontal seperti di Tolikara Papua dan Aceh Singkil. Penerbitan SE tersebut memunculkan pro dan kontra di masyarakat.

Farouk menyayangkan bahwa acapkali pernyataan melalui media sosial dilakukan dengan mendramatisasi fakta, baik yang ditujukan antar perorangan maupun kelompok termasuk antar agama/ajaran internal agama yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik SARA. SE tersebut juga dipandang bermanfaat untuk menyikapi persaingan dalam Pilkada dengan jalan saling melontarkan kebencian yang tidak mendasar untuk mendongkrak popularitas pasangan calon. Metode kampanye semacam ini jauh dari nilai-nilai demokrasi dan tujuan mulia Pancasila.

Namun, Guru Besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini memandang perlu memberi catatan agar pelaksanaan SE tersebut tidak memunculkan ekses negatif. Pertama, penerapan SE haruslah mengacu kepada norma hukum yang telah berlaku, terutama KUHP, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 2/2002 tentang Polri, UU No. 12/2008 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Ujaran kebencian itu umumnya berisi penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah dan semacamnya sehingga seringkali dipandang sebagai pasal karet, bahkan rentan menjadi ajang “kriminalisasi”.

“Oleh sebab itu, catatan kedua saya, penanganan kasus demikian semestinya tidak didasarkan atas penilaian subyektif penyidik melainkan harus didasarkan atas bukti yang kuat untuk memenuhi unsur pidana. Penanganannya harus transparan serta mengedepankan akuntabilitas publik. Oleh sebab itu, setiap pengusutan kasus ujaran kebencian harus diawasi dengan ketat oleh atasannya” tegas Farouk.

Selajutnya Mantan Kapolda Maluku dan Nusa Tenggara Barat (NTB) ini memaparkan, harus ada pembedaan antara ujaran kebencian dan kritik. Pernyataan kritis terhadap pejabat publik harus dapat dilihat sebagai sebuah proses demokrasi yang sehat. Dengan terbitnya SE, diharapkan tidak boleh membungkam kebebasan berpendapat dan harus ada jaminan bahwa masyarakat sipil tetap dapat leluasa menyampaikan kritik kepada pemerintah atau pejabat publik.

Perlu digarisbawahi, bahwa seseorang tidak bisa dihukum karena pemikirannya, melainkan atas keberwujudan pemikirannya-yakni bila ia telah merugikan orang lain. Sebaliknya, kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan berarti kebebasan untuk menghujat pihak lain. Sangat memprihatinkan bahwa hujatan terhadap pejabat publik, atau kelompok lain, bahkan acapkali masuk ke ranah privat.

“Saya hendak menghimbau kepada segenap komponen bangsa untuk mengakhiri lontaran-lontaran kebencian. Setiap warga negara harus dapat berekspresi secara santun, saling mengkoreksi diri dan saling mengingatkan. Pada saat yang bersamaan, para pejabat negara dan tokoh publik sepatutnya menjadi teladan masyarakat” imbau Farouk.

Dalam demokrasi yang sehat, adalah sebuah kewajiban untuk berekspresi dengan menghormati sesama warga negara, rasional, dan mengedepankan keutuhan bangsa. Saya berharap, jangan sampai semangat reformasi dalam membangun pemerintahan yang bersih terbelenggu oleh kriminalisasi atau, sebaliknya, ramai oleh ujaran kebencian. Marilah kita bersama-sama memberikan kritik yang sehat dan berkomunikasi secara beradab. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com