Filipina dan Kisah Keberpihakan pada Inovasi di Bidang Pertanian

Kompas.com - 30/11/2015, 13:13 WIB


FAO memprediksi bahwa pada tahun 2050, jumlah populasi dunia akan mencapai lebih dari 9 milyar penduduk. Sebagian besar dari pertumbuhan penduduk dunia ini akan terjadi di Negara berkembang dan masih berada dalam fase transisi ekonomi. Ironisnya, kemampuan negara-negara tersebut untuk meningkatkan produksi pertanian dan pangan tidak akan seiring dengan peningkatan populasi. Meskipun beberapa pendapat berpandangan bahwa permasalahan utama terletak pada distribusi pangan, tetapi, pun jika ini dapat diatasi dalam waktu dekat, pertambahan populasi dunia tetap akan membutuhkan dukungan peningkatan produksi pertanian yang signifikan.

Tantangan peningkatan produktivitas pertanian ini kemudian juga ditambah dengan persoalan semakin berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya terbarukan dan tidak terbarukan, seperti penurunan kualitas air dan tanah, perubahan iklim, dan berkurangnya tenaga kerja di sector pertanian. Salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas pertanian di tengah-tengah persoalan yang ada adalah dengan menggunakan solusi inovasi dan teknologi. Teknologi ini diharapkan dapat meningkatan hasil panen, menggunakan sumber daya yang ada secara lebih efisien, ramah bagi lingkungan dan aman bagi manusia.

Faktanya, sangat disayangkan bahwa selama bertahun-tahun, pertanian merupakan salah satu sektor yang paling sedikit tersentuh teknologi. Padahal inovasi pertanian telah terbukti dapat membantu meningkatkan produktivitas. Salah satu contohnya adalah penelitian dan komersialisasi tanaman hasil modifikasi genetis (tanaman bioteknologi). Tidak hanya menguntungkan dari segi social ekonomi karena peningkatan produktivitas pertanian, tanaman bioteknologi juga berpotensi untuk mengurangi efek rumah kaca dengan mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida.

Meskipun bioteknologi memiliki potensi besar dalam membantu meningkatkan produktivitas pertanian, prioritas dan dukungan pemerintah masih sangat terbatas. Dalam masalah regulasi dan aturan misalnya, yang merupakan ranah intervensi pertama dan utama pemerintah, ketidakjelasan aturan merupakan salah satu hambatan utama dalam adopsi teknologi ini. Dalam kasus adopsi bioteknologi, Pemerintah Indonesia dapat belajar banyak dari Pemerintah Filipina, yang telah mengadopsi bioteknologi selama lebih dari satu dekade.

Kisah Sukses Filipina dalam Adopsi Bioteknologi

Tanggal 4 Desember 2002 merupakan hari bersejarah bagi adopsi bioteknologi di Filipina, karena pada hari tersebut, Departemen Pertanian memberikan izin komersialisasi untuk MON810 atau yang kemudian lebih dikenal dengan jagung BT, sebagai produk bioteknologi modern pertama yang dizinkan untuk ditanam secara komersial. Jagung ini memiliki resistensi terhadap hama penggerek batang, yang merupakan salah satu hama utama yang menyerang tanaman jagung. Hal ini juga menjadikan Filipina sebagai negara pertama di ASEAN yang telah mengadopsi bioteknologi.

Perjuangan dalam mencapai tahapan ini tidaklah mudah. Sebagaimana yang terjadi di Negara lainnya, terjadi banyak perdebatan publik baik di masyarakat umum maupun di dalam pemerintahan sendiri, yang berakar dari kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu pengetahuan di balik bioteknologi moderen. Kekhawatiran bahwa bioteknologi akan berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan merusak lingkungan mendorong gerakan anti GMO dan anti teknologi. Hal ini diperburuk dengan persepsi negatif terhadap perusahaan multinasional yang memasarkan benih bioteknologi.

Untuk menjawab kekhawatiran publik, Pemerintah Filipina kemudian menghimpun komunitasi lmuwan dan peneliti untuk menjawab kecemasan masyarakat. Keterbukaan Pemerintah pada masa itu sangat membantu untuk menjembatani dialog melalui informasi, fakta, dan data yang tepat. Kebijakan dan peraturan yang disusun juga memberikan kesempatan bagi teknologi ini berkembang, tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian dalam proses evaluasi dan penilaian.

Dalam kasus ini, dukungan politis pemerintah tidak otomatis membuka masuknya produk rekayasa genetika untuk komersialisasi, tetapi lebih kepada keterbukaan dalam melihat pilihan-pilihan kebijakan yang ada, dengan melibatkan berbagai elemen terutama kalangan akademisi serta peneliti, dan industri, untuk menyiapkan perangkat evaluasi dan penilaian. Selain itu, dengan dukungan kalangan akademisi dan institusi Litbang, Pemerintah Filipina juga secara aktif menyediakan informasi kepada publik yang tepat dan berbasis pada ilmu pengetahuan.

Saat ini, Filipina merupakan salah satu pemain utama dan menjadi model bagi pengembangan bioteknologi, tidak hanya di ASEAN, tetapi di Asia Pasifik. Pemerintah Filipina menerapkan aturan yang jelas, transparan, dan menerapkan pendekatan sains dalam pengkajian bioteknologi. Untuk memastikan produk bioteknologi aman terhadap manusia melalui konsumsi pangan, pakan bagi hewan, dan lingkungan, kebijakan yang diterapkan dalam evaluasi produk bioteknologi ini mengacu kepada organisasi dan aturan internasional seperti Cartagena Protocol on Biosafety, Codex Alimentarius Commission (untuk keamanan pangan), The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dan UN Food and Agriculture Organization.

Dari sisi komersialisasi dan peningkatan produktivitas, Filipina telah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Saat ini lebih dari 650 ribu hektar lahan jagung di Filipina telah menanam jagung bioteknologi, jauh meningkat dibandingkan tahun 2003, yang hanya mencapai 10 ribu hektar. Dari awal komersialisasi sampai saat ini (kurang lebih tiga belas tahun), lebih dari 4,5 juta hektar lahan pertanian di Filipina telah menanam jagung bioteknologi. Hal ini menempatkan Filipina sebagai Negara urutan kedua belas dalam hal luasan area penanaman bioteknologi.

Pesatnya perkembangan area lahan ini juga mencerminkan keterbukaan petani dalam mengadopsi teknologi ini. Sebagai pengguna utama dari produk benih jagung bioteknologi, petani di Filipina telah diuntungkan dalam hal peningkatan produktivitas. Suatu penelitian setempat memperlihatkan bahwa pada tingkatan petani, rata–rata jagung bioteknologi meningkatkan hasil panen sekitar 20 - 25 persen dibandingkan jagung hibrida biasa. Karena peningkatan produktvitas ini, petani akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar 10 - 15 persen. Selain itu, setelah lebih dari sepuluh tahun mengadopsi teknologi ini, saat ini Filipina telah sukses mengubah Filipina dari importir menjadi Negara pengekspor jagung.

Perkembangan riset bioteknologi juga terus tumbuh disokong oleh pemain local dan internasional. Banyak perusahaan riset berskala global dan terkemuka menempatkan Filipina sebagai pusat penelitian dan pengembangan untuk bioteknologi pertanian dan pangan. Selain itu, berkat kolaborasi dan dukungan semua pemain, ilmuwan local dan universitas di Filipina mulai mengembangkan berbagai produk bioteknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat, seperti padi dengan fortifikasi vitamin A, tanaman terong bioteknologi, dan lain sebagainya.

Pengalaman Filipina selama lebih dari sepuluh tahun ini merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia, untuk lebih serius dan memprioritaskan teknologi, inovasi dan pengetahuan, sebagai ujung tombak pengembangan pertanian di negara kita. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com