Prospek Indonesia Tetap Positif di Tengah Perlambatan Ekonomi

Kompas.com - 01/12/2015, 08:15 WIB


Ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh sekitar 4,7 persen pada tahun ini, laju terendah sejak 2009. Perlambatan terjadi seiring dengan nilai tukar rupiah yang juga melemah, bahkan sempat mencapai titik terendah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak krisis 1997. Ini menimbulkan kekhawatiran aliran modal asing akan deras keluar sehingga membawa Indonesia kembali kepada krisis ekonomi.

DBS Group Research menilai kekhawatiran ini sangat berlebihan karena yang dialami Indonesia bukan hal unik. Perlambatan ekonomi tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain. Perlu dicatat, dolar AS mengalami penguatan terhadap hampir seluruh mata uang global, dan bukan cuma terhadap rupiah.

Sepanjang Januari-Oktober 2015 memang ada aliran modal keluar dari bursa saham sebesar 1,3 miliar dolar AS. Namun di pasar obligasi negara, pembelian bersih asing dalam periode yang sama mencapai 5 miliar dolar AS. Ini artinya masih lebih banyak dana yang masuk ketimbang keluar. Investor di pasar obligasi memiliki horizon investasi yang cenderung jangka panjang, sehingga menilai prospek Indonesia masih akan baik untuk waktu lama.

Secara fundamental, kondisi Indonesia sekarang sudah jauh lebih baik. Pemerintah sudah berhasil menurunkan rasio utang dari 100 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2000 menjadi 25 persen. Kapasitas cadangan devisa masih mampu menutupi lebih dari 200 persen utang luar negeri jangka pendek, dibandingkan cuma 50 persen selama tiga tahun sebelum 1997.

Saat ini rata-rata defisit neraca transaksi berjalan sebesar 3 persen, sama seperti sebelum krisis 1997-1998. Tapi yang membedakannya, nilai investasi langsung asing (FDI) bersih mencapai 2 persen terhadap PDB, masih lebih tinggi dibandingkan hanya 0,8 persen sebelum krisis 1997.

Bahkan di tengah perlambatan ekonomi global, jumlah FDI per September mencapai 21,3 miliar dolar AS. Hingga akhir tahun diperkirakan bisa mencapai 28 miliar dolar AS, lebih tinggi dari proyeksi awal DBS sebesar 25 miliar dolar AS. Masuknya FDI membuat defisit neraca transaksi berjalan tidak terlalu bermasalah karena dibiayai oleh investasi jangka panjang.

Dan yang menggembirakan, sekitar 40 persen FDI masuk ke sektor jasa dan tersier, termasuk infrastruktur. Catatan ini penting karena pembangunan infrastruktur akan menentukan perkembangan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Sementara dalam jangka pendek, tanda-tanda percepatan belanja pemerintah telah memberi harapan pada paruh kedua tahun ini. Terlihat dari data PDB pada kuartal III yang menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan investasi. Investasi akan semakin tinggi apabila dunia bisnis sudah mulai beradaptasi dengan nilai rupiah, yang terlihat lebih stabil dalam satu bulan terakhir.

Ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2016 bisa lebih tinggi, bila pemerintah bisa merealisasikan penyerapan anggaran 90 sampai 95 persen. Termasuk 80 persen untuk anggaran belanja modal. Bila ini terjadi maka dampak tidak langsung bagi sektor swasta akan lebih besar dari perkiraan.

Pada tahun depan, DBS memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan membaik dan bisa mencapai 5,2 persen. Meski perlambatan ekonomi Tiongkok dan rencana kenaikan suku bunga Amerika tetap akan membawa ketidakpastian terhadap ekonomi global ke depan. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com