Manufaktur Belum Menjadi Penyelamat

Kompas.com - 05/01/2016, 08:00 WIB


Ekonomi Indonesia sedang bergulat melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap sektor komoditas. Terlebih sejak harga komoditas yang terus turun. Ekspor juga ikut terseret anjlok, sehingga sulit berharap sektor komoditas menjadi mesin penggerak pertumbuhan.

Produksi batubara turun dari 165 juta ton pada 2013 menjadi 120 juta ton pada 2014. Beberapa kontraktor besar memberhentikan karyawannya atau memberlakukan cuti dalam beberapa bulan terakhir.

Komoditas tak lagi menjadi mesin pendorong ekonomi. Maka pilihannya beralih ke sektor manufaktur yang lebih banyak menyerap tenaga kerja. Namun pengalihan itu ternyata lebih sulit dari yang diharapkan, apalagi pertumbuhan sektor manufaktur menurun dalam beberapa tahun terakhir. Produksi industri hanya tumbuh 5 persen sejak 2011. Sementara sektor manufaktur saat ini cuma tumbuh 4 persen, turun dibanding rata-rata 2011-2012 sebesar 6 persen.

Sebagian perlambatan pertumbuhan sektor manufaktur disebabkan oleh melemahnya ekonomi global. Kinerja ekspor di sektor ini hanya tumbuh 2 persen per tahun. Masih cukup sama seperti di negara-negara Asia Tenggara lainnya, sehingga pelemahan di sektor ini sangat jelas terlihat. 

Indonesia juga harus menghadapi penurunan investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) di sektor manufaktur. Investasi pada sektor ini turun, khususnya sektor otomotif. FDI sektor otomotif rata-rata US$ 480 juta per kuartal pada semester I-2015. Angka itu lebih rendah dari rata-rata FDI di sektor itu pada 2012-2014. Penurunan investasi ini menjadi sinyal negatif akan daya saing Indonesia.

Yang lebih penting, efisiensi produksi Indonesia juga mengalami pemburukan. Salah satu ukuran efisiensi yaitu rasio investasi terhadap kenaikan PDB, yang umumnya dikenal sebagai ICOR (Incremental Capital Output Ratio). ICOR Indonesia tercatat 6,8 pada 2014, menjadi salah satu yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir. Ini menunjukkan produksi di Indonesia tidak efisien dibanding negara tetangga seperti Vietnam, Myanmar, dan Filipina. Untuk meningkatkan sektor manufaktur, efisiensi produksi perlu dinaikkan.

“Ini jelas perlu perbaikan,” ujar ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi dalam laporan berjudul Indonesia: Manufacturing Still a Drag.

DBS memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 bisa mencapai 5,1 persen, jika laju manufaktur sama seperti tahun 2011. Pada kenyataannya, ini tidak akan tercapai, dan oleh karena itu, maka pertumbuhan ekonomi 2015 hanya mencapai 4,7 persen. Angka pertumbuhan itu jauh dari target awal pemerintah sebesar 5,8 persen pada tahun ini, dengan alasan anggaran infrastruktur dua kali lipat lebih besar.

Salah satu persoalannya, realisasi anggaran sangat lambat dan ini memberikan sentimen negatif termasuk terhadap investasi. Menurut Gundy, pemerintah perlu fokus memperbaiki hambatan struktural yang mengganjal pertumbuhan. Kegagalan untuk memperbaiki hal itu pada akhirnya bisa memukul sektor konsumsi, yang selama ini tetap kuat dan menjadi jangkar pertumbuhan PDB. 

Meski begitu, masih ada harapan bagi Indonesia menggerakkan sektor manufakturnya, terutama di sektor makanan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sepanjang 2015 minat investasi di sektor ini mencapai Rp 185 triliun. Jumlah itu setara 32 persen dari keseluruhan rencana investasi di sektor manufaktur pada tahun 2015 sebesar Rp 572,3 triliun. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com