India-Indonesia, Tantangan Dua Kekuatan Ekonomi Asia

Kompas.com - 12/01/2016, 08:00 WIB


India dan Indonesia adalah dua kekuatan ekonomi terbesar Asia setelah Tiongkok. Keduanya memiliki kemiripan, terutama faktor demografi dan pertumbuhan jumlah kelas menengah. Pada 2014, dua negara ini juga memasuki era baru dengan adanya pergantian pemerintahan. Narendra Modi sebagai Perdana Menteri India, sedangkan Joko Widodo terpilih sebagai Presiden Indonesia.

Di India, kemenangan Narendra Modi pada Mei 2014, telah menumbuhkan harapan bahwa reformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi India bisa berjalan lebih cepat. laporannya berjudul India, Modi One Year On: Up To The Task?, DBS menilai bahwa ekonomi India sudah berada pada jalur yang benar.

Dalam setahun memerintah, Modi telah berhasil meningkatkan kepercayaan dan memperbaiki presepsi asing terhadap India. Namun untuk mempertahankan optimisme bukan perkara gampang.

Tantangan berat India adalah merealisasikan rencana proyek infrastruktur selama lima tahun (2012-2017) senilai US$ 1 triliun. Kira-kira setengah dari jumlah ini diharapkan datang dari sektor swasta, sementara target investasi asing mencapai sekitar US$100 miliar. Persoalannya, di tengah perlambatan ekonomi global tidak mudah menarik investasi asing.

Sementara dari sisi fiskal, pemerintah India terus menghadapi tekanan defisit yang tinggi. Pada tahun anggaran 2015/2016, defisit dipatok sebesar 6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Antisipasinya, pemerintah India harus segera merealisasikan upaya untuk mendorong penerimaan pajak pertambahan nilai atau Goods and Services Tax (GST).

Di sisi lain, Indonesia tengah meradang dengan turunnya harga komoditas yang memengaruhi pendapatan ekspor. Sementara, mengubah haluan ke sektor manufaktur bukan perkara mudah. Sektor manufaktur pertumbuhannya terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Sektor ini cuma tumbuh 4 persen, turun dibanding rata-rata 2011-2012 sebesar 6 persen.

Pada 2015, DBS memproyeksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen. Kombinasi perlambatan ekonomi yang dibarengi melemahnya nilai tukar menjadi tantangan utama pemerintah merealisasikan pembangunan infrastruktur. Padahal Presiden Joko Widodo telah menyiapkan berbagai proyek infrastruktur senilai US$ 450 miliar sepanjang 2015-2019.

DBS dalam risetnya berjudul Indonesia What’s Holding Back Growth?, menyarankan pemerintah untuk lebih agresif merealisasikan belanja. Apalagi masih ada ruang untuk menaikkan defisit fiskal, mengingat rasio utang terhadap PDB pun masih rendah.

Sedangkan dari sisi transaksi berjalan Indonesia, DBS memperkirakan defisit Indonesia berada di kisaran 2-2,5 persen terhadap PDB dalam waktu dua tahun ke depan. Masih adanya persoalan struktural, terutama yang berasal dari faktor komoditas, membuat Indonesia membutuhkan waktu untuk mendorong pertumbuhan ekspor.

“India dan Indonesia sama-sama memiliki risiko ketidakstabilan pasar. Bedanya, defisit APBN India mengkhawatirkan, sementara Indonesia harus menjaga defisit transaksi berjalannya,” ujar Ekonom DBS Gundy Cahyadi.

-

Highlights:

  • India dan Indonesia adalah dua kekuatan ekonomi terbesar di Asia setelah Tiongkok. Dengan jumlah populasi yang besar, keduanya memiliki potensi mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam jangka panjang.

  • Pemerintahan baru di bawah Perdana Menteri Narendra Modi sudah berada di jalur yang benar untuk mereformasi ekonomi India. Namun, dalam jangka pendek ada tantangan yang mesti diselesaikannya.

  • Pertama, mendorong investasi asing untuk membiayai proyek infrastruktur. Kedua, menurunkan defisit fiskal yang mencapai 6 persen.

  • Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo juga menghadapi persoalan, terutama yang berasal dari turunnya harga komoditas, serta laju pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com