Sanitasi Buruk Hambat Pertumbuhan Anak, Perbaikan Ekonomi Melambat

Kompas.com - 25/02/2016, 09:32 WIB

 

Kebiasaan buang air besar sembarangan atau BABS rupanya berdampak besar bagi kesehatan, status gizi, sampai ekonomi bangsa. Salah satu dampak yang langsung dirasakan masyarakat ialah kekurangan gizi kronis, atau yang disebut juga dengan istilah stanting.

Stanting adalah ketika panjang atau tinggi badan anak di bawah standar untuk usianya. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, angka stanting balita Indonesia adalah 37,2 persen. Di beberapa provinsi angkanya bahkan mendekati 50 persen.

Stanting menggerus kapasitas intelektual dan menghambat tumbuh-kembang anak di periode kehidupan selanjutnya. Ketika dewasa, anak stanting lebih mudah terkena penyakit tidak menular, seperti jantung dan diabetes, karena anak stanting cenderung kegemukan saat dewasa.

Hasil riset menyebutkan penghasilan orang yang masa balitanya stanting 20 persen lebih sedikit dibanding penghasilan orang yang saat balita tumbuh optimal. Kerugian ekonomi akibat stanting mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 300 triliun per tahun bagi Indonesia.

Stanting dapat terjadi bila anak kekurangan asupan zat gizi dan sering terkena penyakit, terutama diare. Studi di lima provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa penyebab stanting mengerucut pada dua faktor, yaitu pemberian makan bayi dan anak yang belum optimal dan buruknya sanitasi, khususnya perilaku BABS.

Sampai saat ini, masih ada sekitar 50 juta orang Indonesia yang masih BABS. Penyebabnya, kepemilikan dan penggunaan jamban sehat masih rendah, terutama pada masyarakat pemukim pinggir sungai. Masalah BABS plus rendahnya kebiasaan cuci tangan pakai sabun dengan benar pun berakibat pada meningkatnya frekuensi diare.

Diare dan stanting

Studi di berbagai negara menemukan adanya hubungan timbal balik antara diare dengan stanting. Jalur penyebabnya adalah melalui enteropati yaitu kerusakan pada sistem pencernaan.

Diare yang berulang menebalkan area krip di usus halus yang mengurangi penyerapan zat gizi. Begitu juga vili, organ seperti tonjolan di permukaan dalam usus halus, menjadi datar sehingga mengurangi penyerapan zat gizi, serta meningkatnya permeabilitas yang menyebabkan zat gizi tidak terserap oleh saluran cerna.

Sanitasi adalah akarnya

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan hubungan angka stanting dengan cakupan sanitasi di Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Sulawesi Barat, dan Kalimatan Tengah yang tergolong sebagai provinsi dengan cakupan sanitasi rendah, jumlah stantingnya di atas 40 persen.

Sementara, provinsi dengan cakupan sanitasi cukup tinggi, seperti provinsi-provinsi di Jawa dan Bali, memiliki angka stanting yang relatif lebih rendah.

Karena itu, kebiasaan BABS harus segera dihentikan. Langkah yang dapat dilakukan pemerintah, misalnya meluaskan dan menguatkan program seperti Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

Namun di luar itu, semua pihak harus bahu-membahu mendukung agar masyarakat terpicu menghentikan kebiasaan BABS. Tanpa perbaikan ini, perbaikan asupan gizi sia-sia belaka.

Sinergi antara program gizi untuk meningkatkan kualitas pemberian makan bayi dan anak harus dibarengi dengan upaya membebaskan masyarakat dari perilaku BABS. Keduanya sama pentingnya untuk membalikkan laju stanting pada 1000 hari pertama kehidupan seorang anak.

Masalah gizi takan dapat diselesaikan jika masalah-masalah kesehatan lainnya tidak diatasi. Bahkan lebih jauh lagi, seperti sudah sejak lama diingatkan oleh UNICEF, akar masalah gizi terletak pada aspek pengetahuan dan sosial-ekonomi.

Agar perubahan positif suatu program gizi dapat lestari, program gizi tak dapat berdiri sendiri. Pengetahuan masyarakat ditingkatkan, sikap positif dikembangkan, persepsi dan kepercayaan negatif dikikis, dan perilaku gizi dan kesehatan yang baik didukung dan difasilitasi.

Pendekatan yang komprehensif dan sinergistik akan makin berdampak jika partisipasi masyarakat juga benar-benar dibangkitkan. Perluas pengetahuan tentang gizi di www.gizitinggi.org, dan mulailah berpartisipasi memperbaiki asupan gizi untuk masyarakat sekitar. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com