Menuju Swasembada

Pangan 2017

Kementerian Pertanian Republik Indonesia bertekad untuk mewujudkan pertanian industrial unggul berkelanjutan berbasis sumber daya lokal demi meningkatkan kemandirian pangan, ekspor dan kesejahteraan petani.

-
Kamis, 21 April 2016

Seperti Apa Tata Kelola Air Irigasi dari Waduk Jatigede?


SUMEDANG, KOMPAS.com
– Mengantisipasi kebutuhan air menjelang musim tanam 2 (MT II), tim dari Kementerian Pertanian meninjau dan memastikan kemampuan pasokan aliran air Waduk Jatigede. Kepastian ini juga diperlukan untuk mengantisipasi musim kemarau.

"Aliran air Waduk Jatigede itu memulai aliran ke Bendung Rentang di Majalengka,” ungkap Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Infrastruktur Pertanian, Ani Andayani, di lokasi waduk, Sumedang, Jawa Barat, Kamis (21/4/2016).

Adapun Bendung Rentang, lanjut Ani, merupakan pintu gerbang pembagian air bagi irigasi lahan pertanian dan suplai air ke Sungai Cimanuk. Air dari sungai ini bakal mengairi kawasan pangan di Kabupaten Majalengka, Cirebon, dan Indramayu.

Menurut Ani, penting untuk memahami manajemen air irigasi dari Waduk Jatigede, termasuk untuk mengantisipasi kekeringan pada musim kemarau. Dalam kunjungan itu, konsultan supervisi Waduk Jatigede menjelaskan pula soal rancangan baru tata kelola air irigasi sekunder waduk.

Saat ini, tengah dilakukan modernisasi di dua lokasi, yaitu di Waladan dan Rambatan. Selain itu, ada pula program rehabilitasi Bendung Rentang.


"Ini sangat penting karena petani akan memasuki MT II, yaitu periode Mei hingga Agustus 2016,” kata Ani, yang dalam kunjungan ini didampingi pula oleh Tenaga Ahli Menteri Pertanian Bidang Infrastruktur Budi Indra Setiawan.

Pada periode musim tanam terebut, Waduk Jatigede bakal megnalirkan air dengan debit di kisaran 21,27 meter kubik per detik hingga 116,89 meter kubik per detik.

“(Dengan debit air itu), pemenuhan terhadap kebutuhan debit air bisa mencapai 64 persen hingga 100 persen," papar Ani. 

Buka tutup

Rencananya, mulai 1 April 2016 akan berlaku pula sistem buka tutup pintu irigasi yang melalui Bendung Rentang, bergantian setiap 12 jam. Pola tersebut akan dipakai hingga 31 Agustus 2016.

"Bila air dari (Waduk) Jatigede kini mengalir 60 meter kubik per detik, yang sampai di bendung Rentang sekitar 50 meter kubik per detik, atau sekitar 16 persen kehilangan," ungkap Ani, berdasarkan informasi dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk dan Cisanggarung.

Saat ini, aliran air dari Bendung Rentang tertahan karena proses modernisasi bendung tersebut. Sebelumnya, Bendung Rentang telah mengalirkan air irigasi selama 24 jam dalam kurun 4 bulan terakhir.


Manajemen tata kelola air penting untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya padi. Karena itu, Kementerian Pertanian menekankan perlunya sistem tata kelola air yang kolaboratif dan terpadu dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Meski demikian, imbuh Ani, kolaborasi ini tetap membutuhkan dukungan dari segenap unsur atau pihak terkait, termasuk petani dan masyarakat pengguna air. Selain itu, diperlukan pula peran TNI maupun aparatur negara lain selaku pembina dan pengawas penggunaan air.

"Dengan demikian, tidak akan terjadi kebocoran  aliran air irigasi yg seharusnya sampai ke sawah-sawah petani," tegas Ani.

Efisiensi

Efisiensi pemanfaatan air irigasi juga sangat ditentukan oleh dedikasi petani dalam memahami kebutuhan optimal bagi produksi tanamannya.

Data dari Balitbang Kementerian PUPR, di Indonesia butuh 2.500 meter kubik air untuk menghasilkan 1 ton beras. Padahal, di negara lain cukup dipasok 1.600 meter kubik air.

"Hal ini perlu diantisipasi dengan penerapan sistem irigasi yang tepat dan efisien, terlebih saat ini telah banyak varietas benih unggul dan teknologi budidaya padi dari Badan Litbang Kementerian Pertanian yang lebih efisien dalam penggunaan air," papar Ani.


Selain itu, kata Ani, butuh penelitia lanjutan yang hasilnya pun disosialisasikan ke petani, tentang cara menghitung kecukupan air bagi budi daya padi sawah, padi gogo, padi gogo rancah atau jenis tanaman pangan lain.

“Penggunaan hasil inovasi Badan Litbang Kementerian Pertanian juga akan lebih mudah disosialisasikan bila disajikan dalam bahasa (yang dipakai para) petani dan dilakukan secara tekun,” pesan Ani.

Peninjauan soal tata kelola air harus pula dilakukan dari sudut pandang ketersediaan dan destinasi akhir pemanfaatan airnya.

Misalnya, sebut Ani, dalam kajian penggunaan sumber air suplemen ketika aliran dari waduk atau bendung belum sampai, atau saat ada kekurangan air karena pergeseran musim.

"Pembuatan sumur air dangkal dengan geolistrik untuk sumber air suplemen secara persis adalah merupakan opsi solusinya, seperti yang telah dilakukan di Desa Rancahan dan Desa Kedokan Gabus Kecamatan Gabus Wetan Kabupaten Indramayu," ungkap Ani.