Rachel Stefanie Halim, Aku Buta, Tapi Melihat

Kompas.com - 06/05/2016, 08:36 WIB

Jakarta, 14 April 2016Rachel Stefanie Halim, alumni Unika Atma Jaya program studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Pendidikan dan Bahasa tahun ajaran 1999 merupakan salah satu lulusan Unika Atma Jaya yang memiliki keterbatasan pada penglihatannya (low vision). Sejak umur 6 tahun, Rachel—begitu ia dipanggil—telah mengalami gangguan penglihatan. Melihat tingkah lakunya yang sering menabrak benda-benda kecil, menonton dan membaca buku dengan jarak yang sangat dekat, membuat orangtua Rachel merasa janggal. Ketika memeriksakannya ke dokter mata, ternyata Rachel terkenal Retinitis Pigmentosa (RP), penyakit mata yang pada saat itu masih sangat langka. Sampai saat ini pun, penyakit RP masih dalam penelitian sehingga belum ada obat yang dapat menyembuhkannya. Namun, hal tersebut tidak membuat Rachel patah semangat.

Sejak kecil, Rachel selalu bersekolah di sekolah umum. Sehingga, perjuangan berat harus dilaluinya dengan keterbatasan penglihatan yang ia miliki. Ketika mulai kuliah di Atma Jaya, Rachel mengaku bahwa penglihatannya sudah semakin buruk. Ia sudah tidak dapat menggunakan bantuan kaca pembesar untuk membaca dan tulisannya pun naik-turun. Namun, sebelum ia masuk kuliah, Rachel sudah mempelajari huruf braille, yaitu huruf khusus untuk para tuna netra. Metode pembelajaran Rachel selama kuliah di Atma Jaya cukup unik. “Setiap ke kampus, saya selalu membawa tape recorder. Jadi, dulu kira-kira saya seperti wartawan lah,” celetuk Rachel. Hasil rekaman pengajaran di kelas ditambah dengan rekaman catatan dari teman-teman sekelas didengarkan ulang oleh Rachel sepulang dari kampus dan menyalinnya dalam huruf braille. Ketika ujian, Rachel menjalaninya di ruang dosen dengan dibantu oleh orang sekretariat atau anak-anak Pastoran (Atma Jaya) yang membacakan soal secara lisan kepadanya. Jawaban lisan yang Rachel utarakanlah yang kemudian ditulis dalam lembar jawaban.

Pengalaman menarik yang dialami oleh Rachel selama menjalani pendidikan di Unika Atma Jaya adalah saat mengikuti psikotes pada awal mendaftar. “Pada waktu psikotes, Dekan fakultas pada saat itu turun langsung untuk membantu saya. Beliau membantu saya membacakan soal ujian kepada saya,” jelasnya. Akhirnya, Unika Atma Jaya dipilih oleh Rachel sebagai tempat untuk menuntut ilmu karena ia merasa orang-orang yang ada di dalamnya itu peduli. Sehingga ia pun dapat menyelesaikan studinya berkat bantuan orang-orang di sekitarnya.

Layaknya manusia pada umumnya, Rachel pun pernah merasa putus asa. Ia mengaku pada semester 5 dan 6 adalah masa sulit baginya karena begitu banyaknya tugas serta kuis. Pada saat itu, ia mengatakan bahwa Ayahnya saja merelakan jika dia tidak dapat lulus dari Atma Jaya. Sejak saat itu lah, Rachel meyakini dirinya bahwa ia mampu dan akhirnya dapat lulus tepat waktu.

“Untuk teman-teman mahasiswa, jangan gampang menyerah dalam kondisi apapun. Syukuri, hargai setiap potensi yang Tuhan berikan. Karena, kalau saya yang tuna netra saja bisa menjadikan hidup ini berdampak bagi orang lain, saya yakin teman-teman yang Tuhan kasih fisik lebih sempurna pasti jauh lebih mampu dari saya,” pesan Rachel di akhir sharing pengalamannya pada acara wisuda sarjana ke-67 dan pascasarjana ke-41 Unika Atma Jaya. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com