Advertorial

Ingin JHT Tetap Jadi Tabungan Pensiun, BPJS Ketenagakerjaan Ajak Dialog Serikat Pekerja

Kompas.com - 03/06/2016, 08:00 WIB

Lonjakan jumlah permohonan pencairan dana JHT BPJS Ketenagakerjaan terjadi sepanjang periode November 2015-Maret 2016. Data yang dihimpun oleh BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan klaim dana JHT meningkat 266 persen dari periode sebelumnya. Setiap harinya BPJS Ketenagakerjaan menerima 6.000 – 7.500 permohonan pencairan dana JHT.

Satu hal yang menjadi perhatian, permohonan pencairan JHT justru dilakukan bukan oleh pekerja yang telah memasuki masa pensiun, melainkan mereka yang masih berada pada usia produktif. Rata-rata adalah mereka dengan keanggotaan 1-5 tahun. Mayoritas mencairkan dana JHT dengan alasan berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja atau PHK.

Sepanjang Januari – Maret 2016 saja, BPJS Ketenagakerjaan sudah mengeluarkan dana JHT sebanyak Rp 50 – 55 miliar. BPJS Ketenagakerjaan mengaku lonjakkan permohonan pencairan dana JHT tersebut tidak mempengaruhi likuiditas dan solvabilitas. Namun satu hal yang menjadi kekhawatiran adalah esensi JHT sebagai tabungan jangka panjang untuk menjamin kesejahteraan hari tua menjadi hilang.

Demi mengembalikan fungsi JHT sebagai tunjangan kehidupan setelah pensiun, BPJS Ketenagakerjaan mencoba mencari solusi. Salah satu pilihan solusinya adalah merevisi kembali regulasi terakhir soal pencairan JHT.

Peningkatan jumlah klaim peserta ini diduga disebabkan oleh perubahan regulasi dari PP no.46 tahun 2015 yang memungkinkan pencairan JHT tanpa syarat kepesertaan minimal 5 tahun 1 bulan. Ditambah dengan turunannya yaitu Permenaker no.19 tahun 2015 yang memungkinkan pekerja menerima dana JHT setelah satu bulan putus hubungan kerja dengan perusahaan.

Tidak mau sepihak, Selasa (31/5/2016) lalu BPJS Ketenagakerjaan menggelar dialog dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai perwakilan para pekerja yang merupakan stakeholder utama JHT di Hotel Bidakara.

Dialog turut dihadiri juga oleh Haiyani Rumondang - Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementrian Ketenagakerjaan, TB Rachmat Sentika – Ketua DJSN, dan Wahyu Widodo – Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Kementrian Ketenagakerjaan.

“Fenomena yang terjadi saat ini adalah JHT dicairkan oleh para pekerja yang mengundurkan diri, bukan pensiun. Sebanyak 5 persen dari mereka mengundurkan diri, mencairkan JHT, kemudian kembali bekerja lagi, baik di perusahaan yang sama ataupun perusahaan baru,” ungkap E. Ilyas Lubis, Direktur Perluasan Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dalam dialog tersebut.

Ilyas memaparkan dengan mencairkan dana JHT sebelum waktu pensiun sebenarnya ada efek jangka panjang yang akan terjadi. Saat ini Indonesia dianugerahi bonus demografi dengan penduduk yang mayoritas berusia produktif. Tetapi jika penduduk usia produktif tersebut tidak pandai mempersiapkan dana untuk hari tua, salah satunya dengan JHT, bonus produktif tersebut akan menjadi bencana.

“Harus diingat, ketika pensiun masih ada pengeluaran untuk kebutuhan hidup kurang lebih 60-70 persen dari pengeluaran saat masih bekerja. Untuk membiayainya banyak pekerja yang sudah pensiun memilih untuk kembali bekerja. Padahal seharusnya sudah tinggal menikmati. Hari tua yang sejahtera harus disiapkan dengan matang, salah satunya dengan mengembalikan fungsi JHT sebagai jaminan setelah pensiun,” kata Ilyas.

-

Niat BPJS Ketenagakerjaan untuk mengembalikan fungsi JHT sebagai persiapan hari tua disambut baik oleh DJSN dan Kementrian Ketenagakerjaan. DJSN menawarkan beberapa solusi. Pertama, mengatur masa transisi dana JHT dan kepesertaan minimal 5 tahun. Untuk mencegah moral hazard, perlakuan bagi peserta yang mencairkan JHT karena PHK, resign dan pensiun harus dibedakan.

Kedua, adalah mengatur persentase jumlah dana yang bisa diambil setelah kepesertaan 10 tahun. Maksimum adalah 90 persen dari saldo JHT. Terakhir, sosialisasi jika memang sudah ada regulasi baru untuk menyamakan persepsi antara pembuat peraturan dengan pekerja.

“Perlu ada dialog sebelum menetapkan regulasi baru soal JHT agar tidak terjadi gejolak sosial. Selain itu memang perlu diakui memang sebelumnya terjadi disharmoni regulasi,” ujar TB. Rachmat Sentika. 

Pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dalam dialog tersebut sebenarnya sepakat untuk mengembalikan JHT sesuai fungsinya namun ada beberapa poin yang menurut mereka masih harus dipertimbangkan. Terutama mengenai sekuritas dari segi karir dan pendapatan yang mempengaruhi pola pencairan JHT.

Dua masalah tersebut dialami khususnya oleh buruh yang bekerja dengan sistem kontrak. “JHT ini milik pekerja, maka regulasi apapun nanti yang dibuat harus berpihak bagi pekerja,” ujar Iswan Abdullah, perwakilan dari SPSI. Hal ini masih menjadi “PR” besar juga bagi Kemenakertrans.

Haiyani Rumondang berpendapat dialog ini sangat penting untuk mengumpulkan pendapat-pendapat mengenai JHT. Melalui dialog ini diharapkan pro dan kontra soal JHT tidak lagi terjadi di masa mendatang. Disharmoni regulasi seperti saat ini pun diharapkan tidak terjadi.

“Kemenakertrans inginnya JHT ini dapat berfungsi dengan baik. Jangan nanti begitu boleh diambil, diambil semua. Diambil ini benar atau tidak untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Nanti hari tua bagaimana?,” pungkas Haiyani. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com