Ini Alasan Mengapa CEO Topica Melihat Teknologi Edukasi sebagai Jawaban atas Masalah “Brain Drain” pada Sistem Pendidikan Tinggi di Vietnam

Kompas.com - 21/07/2016, 18:48 WIB

Brain drain atau yang juga dikenal dengan istilah human capital flight adalah sebuah fenomena di mana hengkangnya tenaga ahli, pemikir, dan intelektual potensial di suatu negara ke negara lain yang umumnya lebih maju dibandingkan negara asalnya. Fenomena global ini sering dialami oleh negara-negara berkembang, Vietnam salah satunya.

Berdasarkan artikel yang dimuat di New York Times, belum maksimalnya sistem pendidikan tinggi Vietnam bertanggung jawab atas fenomena brain drain ini. Meningkatkan sistem pendidikan tinggi tentu saja menjadi jawaban untuk untuk menyelesaikan permasalahan brain drain di negara yang dikenal dengan julukan Vietnam Rose ini.

Menurut CEO Topica Pham Minh Tuan, jika ingin menjembatani ketimpangan antara kebutuhan dan suplai di dunia pendidikan dengan cara berinvestasi pada sistem dan pendidikan konvensional, maka akan dibutuhkan ribuan kampus, sarana dan prasarana, dan juga melatih jutaan tenaga pengajar. Menurutnya, biaya investasi yang dibutuhkan lebih banyak hingga berlipat ganda dari jumlah GDP Vietnam saat ini. Pun apabila dananya ada, masih membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya.

Inovasi teknologi edukasi (edtech) menjadi satu-satunya jalan keluar

Melihat kendala yang ada, Pham Minh Tuan percaya bahwa inovasi dari edtech menjadi satu-satunya jalan keluar dari permasalahan brain drain ini. Melalui edtech, tenaga pengajar yang ada dapat diakomodir dengan lebih efektif tanpa perlu membuat sarana dan prasarana fisik seperti kampus, ruang kelas, dan lain sebaginya.

“Bayangkan saja berapa banyak investasi yang akan anda dan keluarga anda keluarkan di bidang pendidikan setiap tahunnya, dibandingkan dengan seberapa banyak yang akan anda keluarkan untuk membeli telepon seluler baru, membayar biaya langganan, ataupun mengunduh aplikasi,” imbuh Pham Minh Tuan.

Di Vietnam, jumlah startup edtech bertambah dari 60 menjadi lebih dari 100 pada tahun 2015. Angka ini menjadikan Vietnam sebagai negara yang memiliki komunitas edtech terbesar di Asia Tenggara. Generasi pertama startup edtech yang dimulai sejak tahun 2004. Penyebaran internet dan penggunaan smartphone juga telah meningkat pesat.

Dari sisi kebutuhan akan pendidikan tinggi, kemampuan bahasa dan keprofesian, pelajar Vietnam terbukti memiliki semangat yang besar untuk belajar. Hal ini tidak lepas dari efek meningkatnya investasi asing dan perjanjian dagang regional maupun internasional.

Berbagai alasan inilah yang membuat CEO dari Topica meyakini bahwa edtech menjadi satu-satunya jalan keluar untuk untuk menyelamatkan sektor pendidikan. Edtech memungkinkan para manajer dan profesional untuk dapat memberikan ilmu yang relevan kepada pelajar, tanpa perlu mendatangi kampus untuk mengajar seperti cara biasa. Para penutur asli bahasa Inggris pun dapat berinteraksi dari jarak jauh, bahkan dari negeri mereka sendiri.

Topica sendiri telah merangkul lebih dari 2000 manajer dan profesional untuk berpartisipasi dalam program online degree-nya. Dalam program tersebut, ratusan pengajar asli asal Amerika dan Eropa menjadi tutor dalam program pelatihan bahasa Inggris online yang ditawarkan.

Tantangan

Membahas mengenai tantangan, Pham Minh Tuan mengaku bukan adaptasi dari metode edtech yang menjadi masalah. Karena setiap startup dapat membuat halaman web yang menarik disertai dengan konten yang persuasif. Pengguna internet juga banyak yang terbuka untuk mencoba program kuliah online baru. Namun, yang lebih sulit adalah bagaimana membuat mereka tetap kembali untuk mengikuti kursus yang lain, atau mempromosikan pengalaman mereka kepada teman-temannya

“Cukup sering terjadi, di mana sebuah startup edtech meluncurkan program baru yang disambut dengan antusiasme tinggi, diikuti dengan pertumbuhan yang fenomenal selama beberapa bulan atau tahun, namun kemudian turun dan stagnan,” jelasnya.

Di Topica, Pham Minh Tuan menjelaskan bahwa setiap tahunnya mereka menghabiskan hingga dua bulan untuk “4H”, sebuah program pelatihan internal yang berfokus pada peningkatan kualitas produk. Pada masa ini, tim diminta untuk tidak fokus pada revenue sehingga semua pegawai dapat mengikuti pelatihan metodologi “4H Quality Spiral” serta berpartisipasi dalam berbagai proyek untuk peningkatan kualitas.

Pham mengakui bahwa, salah satu hasil yang paling mereka banggakan adalah tingkat retensi 82 persen selama 12 bulan program kuliah online. Angka ini setara dengan empat kampus online teratas di Amerika Serikat.

Dari kerja sama dengan berbagai universitas ternama seluruh dunia hingga gamification

Topica juga menjadi inisiator pertama di Asia yang membangun kerja sama dengan Coursera, di mana peserta dapat belajar dengan cara melihat video kuliah umum dari berbagai universitas ternama di seluruh dunia. Ditunjang dengan tutorial kelas dunia dan support service dari Topica, siswa akan mendapatkan baik sertifikat dari Coursera maupun gelar dari universitas lokal yang bersangkutan.

Kerja sama lain dilakukan dengan Franklin University di Ohio. Di sini, siswa menjalani tiga tahun pertama masa perkuliahannya bersama Topica dengan biaya kuliah yang sangat terjangkau, sebelum kemudian menyelesaikan 18 bulan yang tersisa di Franklin campus, dan berhak menerima gelar pendidikan tinggi Amerika Serikat yang terakreditasi penuh. CEO Topica tersebut mengaku, sejauh yang kami ia tahu ini adalah program kuliah online pertama dari Asia Tenggara yang mendapat pengakuan setinggi itu dari institusi resmi pendidikan tinggi Amerika Serikat.

Lebih lanjut, Pham melanjutkan mereka juga berinvestasi pada metode gamification untuk meningkatkan tingkat partisipasi peserta, adaptive learning untuk menjamin proses belajar yang paling efektif untuk setiap siswa, dan pengembangan aplikasi pada platform baru seperti VRsmartwatchtelepresence robots, dan drones untuk mengelaborasi beragam cara belajar yang dapat meningkatkan minat belajar dan partisipasi para peserta program.

“Semua usaha tersebut telah membantu kami menapakkan kaki bukan hanya di Vietnam, tapi juga di Thailand, Filipina, dan yang baru-baru ini adalah Indonesia,” urainya.

Tidak menggantikan, namun bersama-sama akan meningkatkan kualitas kegiatan belajar dan mengajar

Ditanya apakah edtech akan menggeser posisi institusi pendidikan tradisional, CEO Topica ini meyakini bahwa dua hal tersebut akan bersimbiosis mutualisme dan menjadikan kerja mereka lebih baik. “Saya percaya edtech akan menjadi bagian dari semua kegiatan edukasi pada 10 hingga 15 tahun mendatang, dan meningkatkan kualitas kegiatan belajar dan mengajar,” tutup Pham Minh Tuan. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com