BPJS Ketenagakerjaan Akhiri Semester I dengan Realisasi 78,62 Persen dari Target Surplus Setahun

Kompas.com - 26/07/2016, 17:31 WIB

Memasuki akhir Semester I tahun 2016, BPJS Ketenagakerjaan menutup bulan Juni dengan surplus sebesar Rp 25,70 triliun atau 78,62 persen dari target RKAT (Rencana Kerja Anggaran Tahunan) 2016.

Jumlah tersebut didapatkan dari surplus JHT (Jaminan Hari Tua) sebesar Rp 17,86 triliun, JP (Jaminan Pensiun) sebesar Rp 4,22 triliun, JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja) sebesar Rp2,21 triliun, dan JKM (Jaminan Kematian) sebesar 757 miliar dan BPJS 648 miliar.

Direktur Keuangan BPJS Ketenagakerjaan Amran Nasution dalam wawancara langsung dengan Kompas.com memaparkan target penerimaan iuran per bulan Juni telah mencapai Rp 22,40 triliun, atau 52,40 persen dari target 2016 sebesar Rp42,75 triliun.

Total investasi neto dari target Rp25,17 T juga telah tercapai sebesar 52,15 persen. Sedangkan nilai klaim BPJS Ketenagakerjaan yang sudah dibayarkan sebesar Rp8,24 T atau 26,88 persen dari RKAT 2016.

Melihat perkembangan besaran target yang sudah terealisasi sampai bulan Juni 2016 ini, Amran optimis bahwa target RKAT 2016 bisa tercapai. Direktur Keuangan yang dilantik per 23 Februari 2016 kemarin, selalu mengawasi pencapaian target bulanan selama setahun.

Tantangan dari Permenaker Nomor 19 Tahun 2015

Walaupun pencapaian BPJS Ketenagakerjaan sampai saat ini cukup memuaskan, Amran mengakui banyak tantangan yang harus dihadapi oleh segenap insan BPJS Ketenagakerjaan. Salah satunya dampak dari pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 yang memungkinkan pekerja untuk mencairkan dana JHT yang mereka miliki tanpa melihat masa kepesertaan.

“Sebelumnya, aturan pencairan dana JHT adalah 5 tahun setelah berhenti bekerja atau (dapat dicairkan) ketika memasuki usia 56 tahun. Namun PP 46 Tahun 2015 menetapkan pencairan JHT hanya dapat dilakukan ketika pensiun. Pekerja aktif bisa mencairkan tapi hanya sebagian jika sudah bekerja 10 tahun, hal ini menimbulkan kegaduhan”, jelas Amran. Untuk meredam kondisi yang mulai tidak kondusif Pemerintah mengeluarkan PP 60 Tahun 2015 dan turunannya Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang mengatur kembali tentang pencairan JHT. Sayangnya aturannya tidak dikembalikan menjadi 5 tahun, tapi menjadi nol tahun yang setiap saat dapat diambil,” tambah Amran.

Dampak dari perubahan aturan ini menyebabkan lonjakan permintaan pencairan dana jadi meningkat tajam. Peserta banyak yang mengantri untuk mencairkan, hingga setiap bulannya dana yang ditarik mencapai Rp 1,5 triliun sampai Rp 2 triliun.

Walaupun, terjadi peningkatan drastis pencairan dana sampai saat ini BPJS Ketenagakerjaan masih surplus. Besaran uang masuk masih lebih besar dari besaran uang yang ditarik dari pencairan JHT. “Current ratio kita masih di atas 1 sehingga BPJS Ketenagakerjaan masih sangat likuid. Peserta tidak perlu khawatir dananya tidak bisa dicairkan,” lanjut Amran.

Direktur Keuangan BPJS Ketenagakerjaan Amran Nasution dalam wawancara dengan Kompas.com di Kantornya yang terletak di jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan

Namun tidak bisa dipungkiri, lonjakan penarikan dana JHT ini mempengaruhi pertumbuhan BPJS Ketenagakerjaan. Dari yang biasanya dana yang dikeluarkan dari penarikan JHT ini dari Rp 800 miliar sampai dengan Rp1 triliun, melonjak sampai dengan Rp 2 triliun. Dana yang tersedia untuk dikelola menjadi hanya sekitar Rp 300 miliar sampai dengan Rp 500 miliar.

Fenomena pelonjakan pencairan dari dana JHT yang terjadi justru dilakukan bukan oleh pekerja yang telah memasuki masa pensiun, melainkan mereka yang masih berada pada usia produktif. Rata-rata adalah mereka dengan keanggotaan 1-5 tahun.

Mayoritas mencairkan dana JHT dengan alasan berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja atau PHK. Dan yang lebih disayangkan lagi, alasan pencairan dana JHT tersebut untuk hal-hal yang bersifat kebutuhan konsumtif saat ini, tanpa memikirkan dampaknya pada masa depan mereka.

“Kita memang tidak bisa melarang mereka untuk tidak mencairkan dana JHT untuk kebutuhan apa pun, karena itu adalah hak mereka. Namun pada prinsipnya akan sangat disayangkan apabila masih (dalam usia) produktif dana tersebut dicairkan,” pungkas Amran. Sedangkan imbal hasil yang ditawarkan dari JHT minimal sama atau lebih besar dari suku bunga deposito bank pemerintah.

Ke depannya Amran berharap agar aturan mengenai pencairan dana JHT dikembalikan lagi seperti sebelumnya, yaitu minimal kepesertaan 5 tahun atau memasuki usia 56 tahun.

BPJS Ketenagakerjaan sendiri memiliki komitmen untuk menyejahterakan para peserta. Selain komitmen imbal hasil minimal sebesar suku bunga bank pemerintah yang dijanjikan pada JHT, terdapat manfaat lain yang termasuk dalam MLT (Manfaat Layanan Tambahan) BPJS Ketenagakerjaan. Dimulai dari manfaat pendidikan melalui beasiswa, manfaat transportasi, sampai manfaat perumahan yang terjangkau untuk para pekerja. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com