Advertorial

Menaruh Harapan dari Amnesti Pajak

Kompas.com - 12/09/2016, 18:49 WIB

Pemerintah optimistis program amnesti pajak (tax amnesty) yang mulai berlaku 18 Juli lalu akan berhasil. Program tersebut menjadi tumpuan pendapatan negara di tengah merosotnya penerimaan pajak, terutama untuk menjaga agar defisit anggaran tidak melebihi batas 3 persen. Selain itu, aliran dana repatriasi berpotensi menggerakkan perekonomian nasional.

Wajib pajak dinilai bakal menyambut program ini karena akan diberikan sejumlah insentif berupa penghapusan pajak terutang hingga sanksi administrasi dan pidana. Apalagi tarif tebusan yang ditawarkan lebih rendah daripada tarif pajak. Jika semakin cepat wajib pajak melaporkan asetnya, maka tarif tebusannya semakin rendah.

Ada tiga periode pengenaan tarif tebusan tersebut. Bagi wajib pajak yang melakukan deklarasi di dalam negeri atau merepatriasi dana dari luar negeri akan mendapatkan tarif tebusan sebesar 2 persen jika melakukannya selama periode I (1 Juli-30 September 2016). Namun kalau melakukannya pada periode II (1 Oktober -31 Desember 2016) dan periode III (1 Januari-31 Maret 2017), maka tarifnya masing-masing sebesar 3 persen dan 5 persen. Adapun setelah dilaporkan, aset ini harus ditempatkan di Indonesia selama tiga tahun.

Akan tetapi, kalau wajib pajak hanya melakukan deklarasi dan tetap menempatkan dananya di luar negeri, maka tarif tebusannya lebih mahal. Besarannya dua kali tarif deklarasi di dalam negeri, yakni masing-masing sebesar 4 persen, 6 persen, dan 10 persen untuk setiap periode pelaporan.

Optimisme pemerintah ini sangat jelas. Menurut estimasi pemerintah, dana sebesar Rp 1.000 triliun atau setara dengan 75 miliar dolar AS dapat direpatriasi dalam sembilan bulan ke depan. Selain itu akan ada tambahan pendapatan pajak sebesar Rp 165 triliun atau 12,5 miliar dolar AS. Kalau memang tercapai, defisit anggaran pemerintah akan bisa bertahan di bawah 3 persen dari PDB.

Pasar finansial merespons positif pengumuman amnesti pajak. Salah satu indikasinya adalah terus jatuhnya imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia. DBS Group Research mencatat, sejak awal 2016 rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah turun hingga 170 bps. Memang faktor eksternal dari rendahnya suku bunga di dunia dan ekspektasi pasar tentang kemungkinan penurunan suku bunga Bank Indonesia membuat obligasi pemerintah sangat menarik. Namun, para pelaku pasar tampaknya ‘buy into’ optimisme pemerintah ini.

Bagaimana tidak. Jumlah Rp 1.000 triliun itu setara dengan 150 persen dari jumlah investasi investor asing di obligasi pemerintah. Namun pada saat bersamaan, ada kekhawatiran asumsi pemerintah yang terlalu optimistis akan menemui hambatan. Pertama, estimasi nilai aset yang belum dilaporkan sangat bervariasi. Kedua, kalaupun jumlah sebenarnya sama dengan estimasi pemerintah, sebagian di pasar ragu bahwa jumlah dana yang akan direpatriasi bisa mencapai estimasi pemerintah.

Ini lantaran Rp 1.000 triliun itu sama dengan 70 persen dari total cadangan devisa Indonesia, atau sama dengan 60 persen dari jumlah outstanding obligasi pemerintah saat ini. Bukan tidak mungkin kalau estimasi ini berlebihan. Perlu juga diingat bahwa wajib pajak juga bakal menghitung besaran insentif dari dana yang ditempatkannya selama tiga tahun.

Sembilan bulan ke depan akan menjadi periode penting bagi ekonomi Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Harapan besar memang disandarkan pada program amnesti pajak, mengingat penerimaan pajak pada tahun ini yang diperkirakan lebih rendah dibandingkan pada 2015 dan 2014. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com