Advertorial

11 Tahun LPS: Diskusi Keadaan Ekonomi Global dan Tantangan Untuk Indonesia

Kompas.com - 23/09/2016, 22:54 WIB

Dalam rangkaian peringatan ulang tahunnya yang ke-11, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengadakan seminar bertemakan Challages to Global Economy di Balroom Ritz Carlton, SCBD, Jakarta. Acara yang diadakan pada Kamis (22/9/2016) menghadirkan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati sebagai pembicara kunci, dan Presiden Bank Sentral Eropa periode 2003-2011 Jean Claude Trichet sebagai pembicara utama.

Diskusi ini, seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah, tidak hanya diharapkan dapat memberikan wawasan saja, namun juga memberikan pengetahuan untuk memahami bagaimana kondisi ekonomi saat ini dan bagaimana bisnis khususnya perbankan harus memberikan respons.

Memahami pengaruh keadaan ekonomi global

Dalam pidato sambutannya, Halim menjelaskan walaupun sudah 8 tahun berlalu sejak krisis finansial tahun 2008, ekonomi dunia masih belum sepenuhnya pulih. Menurutnya, hambatan utama di awal periode pemulihan adalah deleveraging dari negara-negara maju, sedangkan dalam 3 tahun terakhir, hambatan utamanya berasal negara-negara ekonomi berkembang. Karena dengan berakhirnya siklus komoditi super akhirnya memaksa negara-negara berkembang untuk melakukan restrukturisasi.

Beberapa faktor lain seperti fed tightening cycle, Brexit, dan kebijakan yang tidak efektif memberikan ketakutan bahwa pertumbuhan di negara-negara maju akan terganggu, sedangkan restrukturisasi di negara-negara berkembang belum sepenuhnya selesai. Faktor-faktor tersebut, lanjut Halim, dapat memperpanjang pelemahan dalam ekonomi global.

Pertumbuhan global yang “anemia” menekan permintaan atas komoditas, yang menjadi mesin utama pada pertumbuhan negara berkembang. Beberapa negara telah menjadi korban, seperti Rusia, Brazil, Afrika Selatan, dan baru-baru ini Mongolia.

Indonesia, dalam sebuah perekonomian terbuka, tidak dapat menghindari dampak negatif dari keadaan ini. “Ekonomi kita terus merasakan pelambatan dalam empat tahun ini. pertumbuhan menurun dari angka 6 persen lebih pada tahun 2012 ke angka sekitar 5 persen di tengah 2016,” jelas Halim.

Sektor yang menjadi kunci pertumbuhan seperti manufaktur, perdagangan dan jasa mengalami pelemahan. Sedangkan sektor seperti agrikultur dan pertambangan tetap berjalan lambat karena penurunan harga komoditas global.

Namun, lanjutnya, dari hasil pengamatan beberapa indikator pada siklus bisnis Indonesia telah menunjukkan tanda yang menggembirakan. Pertumbuhan mulai berbalik pulik di angka 5,2 persen pada kuartal ke-2 dari angka yang sebelumnya pada kuartal pertama 4,9 persen.

Indikator utama seperti penjualan otomotif dan pertumbuhan konsumsi semen sudah masuk pada posisi yang positif, masing-masing di angka 2,9 persen dan 3,9 persen pada bulan Agustus 2016. Kondisi ini mengindikasikan pertumbuhan ini terlihat akan berlanjut. Halim memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai angka sekitar 5 persen, dan meningkat sampai 5,3 persen di tahun depan.

Indikator ekonomi makro lainnya juga menunjukkan performa yang bagus. Inflasi berada dalam sasaran BI, bahkan mungkin turun akibat lemahnya permintaan. Nilai tukar stabil di angka Rp 13.000 sampai dengan Rp 13.300 dan didukung dengan sedikitnya kebutuhan pendanaan eksternal sebagaimana diindikasikan oleh peningkatan neraca transaksi berjalan dan aliran masuk portofolio yang cukup.

Menurut Halim, dalam menghadapi latar belakang makro ini, tahun ini BI dapat melonggarkan kebijakan moneter lebih jauh dengan memotong kebijakan tarif sebesar 75 basis poin (bps). Kerangka kerja kebijakan moneter ini juga telah diformulasikan dan diterapkan sejak bulan Agustus 2016.

Walaupun pertumbuhan ekonomi domestik lemah, menurut Halim pertumbuhannya masuk lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Namun, lanjutnya, kita tetap harus waspada karena ekonomi dunia masih bergelombang, dan beberapa faktor risiko masih dominan, seperti China Rebalancing and Commodity Price Presure dan Japan Productivity Gridlock.

Terbitkan 13 paket kebijakan, belum ada negara seambisius Indonesia

-

Senada dengan Halim, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membenarkan kondisi ekonomi global dan pengaruhnya terhadap Indonesia. Bahkan ia menambahkan untuk setor pertambangan adalah yang paling menderita, pertumbuhannya sudah negatif.

Namun, menteri yang sampai 27 Juli 2016 kemarin masih menjabat sebagai Managing Director of Word Bank ini meyakinkan bahwa pemerintah tidak hanya tinggal diam melihat keadaan ini. Bahkan ia mengakui tidak ada negara lain yang ambisius seperti Indonesia, menerbitkan sampai 13 paket kebijakan pemerintah.

"Saya sebelumnya di Bank Dunia. Saya tidak pernah melihat negara di dunia yang punya reformasi seambisius itu," jelasnya. Penerbitan 13 paket kebijakan pemerintah tersebut, lanjut Sri, merupakan bagian dari kebijakan sektor riil. Pemerintah bertujuan menarik lebih banyak modal dan keyakinan dari sektor dunia usaha.

Sri mengungkapkan, 13 paket kebijakan tersebut dipandang sebagai reformasi yang ambisius dalam aspek positif untuk mengembangkan Indonesia. Yang terpenting, kata dia, reformasi tersebut bukan dilakukan saat ada krisis.

"Indonesia melakukan ini saat ekonomi normal dan bukan didorong krisis," ujarnya.

Menurut Sri, pemerintah Indonesia ingin membuka kegiatan ekonomi sebanyak-banyaknya. Selain itu, pemerintah juga ingin memperluas partisipasi sektor swasta. Dengan adanya reformasi sektor riil ini, pemerintah ingin memastikan bahwa Indonesia adalah tempat yang bagus untuk menjalankan bisnis.

“Indonesia didukung oleh populasi yang muda dan bertumbuhnya kelas menengah. Di sini adalah tempat yang bagus untuk berinvestasi," jelas Sri.

Tidak hanya itu, Sri menabahkan, pemerintah berusaha mengadopsi kebijakan fiskal sebagai stimulus performa perekonomian dari pendapatan pajak. Perdapatan pajak ini bergantung kepada dana repatriasi dan deklarasi aset kebijakan sebagai hasil program amnesti pajak yang menjadi fokus pemerintah belakangan ini.

“Kondisi fiskal bergantung kepada amnesti pajak, dan kita juga terbatas dalam kapasitas dengan defisit anggaran. Ini memang sudah bawaan, namun kita akan terus meningkatkan pendapatan dengan melanjutkan pengembangan infrastruktur dan penghapusan kemiskinan,” tuturnya.

Tujuh poin konvergensi komunitas internasional dalam diagnosis global

Presiden Bank Sentral Eropa periode 2003-2011 Jean Claude Trichet hadir sebagai pembicara utama. Dalam presentasinya, ia menggarisbawahi tujuh poin, yaitu:

Pertama, senada dengan Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah dan Menkeu Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi global secara signifikan masih jauh dari yang diharapkan.

Kedua, perlu untuk menumbuhkan perekonomian dunia yang tegas dan inovatif. Inovasi menjadi sebuah kunci penggerak pertumbuhan baik untuk perekonomian sebuah negara ataupun global. Inovasi yang dimaksudkan di sini adalah perwujudan sebuah ide dalam teknologi, produk, atau proses yang baru dan memiliki nilai.

Ketiga, inovasi sangat menentukan pertumbuhan. G20 sendiri sudah mengambil inisiatif dengan meluncurkan Blueprint in Innovative Growth. Langkah dari cetak biru ini dengan konsentrasi pada inovasi, revolusi industri baru seperti internet of things dan big data, ekonomi digital, dan pendidikan sampai pelatihan tertentu.

Keempat, komunitas internasional butuh dukungan atas tata kelola keuangan, yang diperkuat pada level global. Dukungan ini diberikan melalui kerangka kerja internasional, khususnya komite dari BIS termasuk komite Basel, dan Financial Study Board.

Kelima, komunitas internasional atau yang juga dikenal dengan nama G20 memperkuat pertumbuhan perdagangan dan investasi yang kuat dan berkelanjutan. Hal ini penting dalam konteks menumbuhkan tekanan proteksi pada berbagai negara, termasuk negara maju.

Keenam, inclusifity adalah kunci untuk membantu pertumbuhan yang berkelanjutan dan seimbang. Hal ini baik untuk masyarakat internasional untuk mengembangkan komitmen dan bantuan pembangunan resmi, dan juga untuk masing-masing masyarakatnya.

Ketujuh, G20 mencatat risiko besar yang harus dihadapi oleh ekonomi global dalam periode yang akan datang. Risiko-risiko tersebut adalah potensi gejolak di pasar uang, fluktuasi besar-besaran atas harga komoditas, lambannya perdagangan dan investasi, perkembangan produktivitas yang mengecewakan di banyak negara baik maju dan berkembang, peningkatan besar-besaran arus pengungsi, terorisme, dan perkembangan geopolitik yang mengancam di beberapa regional.

Tantangan untuk LPS di usianya yang ke-11

Menkeu Sri Mulyani menceritakan bahwa Indonesia pernah mengalami beberapa kali krisis dalam beberapa waktu terakhir, yaitu krisis keuangan pada periode 1998 dan 1999 serta krisis keuangan global pada tahun 2008 hingga 2009.

Sri menjelaskan, kala itu pemerintah Indonesia harus merogoh kocek amat dalam untuk menyelamatkan sistem perbankan Indonesia dari jurang krisis. Biaya penyelamatan tersebut pun disebutnya sangat besar sepanjang sejarah.

“Biaya penyelamatan sistem perbankan Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia. Saya rasa hanya dibandingkan degan Argentina,” ungkap Sri. Kemudian, lanjutnya, pada tahun 2008 dan 2009 Indonesia kembali mengalami krisis keuangan. Pada periode krisis tersebut, Indonesia harus mengalami tekanan kepercayaan diri.

Belajar dari krisis keuangan yang dialami Indonesia tersebut, pemerintah dan parlemen pun terdorong untuk menerbitkan Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang kemudian berlanjut dengan diratifikasinya Undang-Undang No 9 Tahun 2016 mengenai Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).

Dengan disahkannya UU ini, maka peran LPS dalam stabilitas keuangan melalui pelaksanaan fungsinya menjadi lebih besar, antara lain adanya beberapa alternatif baru penanganan bank seperti Purchase and Assumption (P&A) dan bridge bank.

UU ini, menurut Sri, adalah perubahan fundamental tentang bagaimana kita mengelola krisis. Ia berharap negara tidak lagi menjadi penjamin dalam perbankan dan Indonesia tidak akan menghadapi krisis lagi.

“Saya harap kita tidak akan menghadapi krisis lagi, setidaknya ketika saya masih menjabat sebagai Menteri Keuangan (Menkeu),” ungkap Sri. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com