Advertorial

Masa Depan Sektor Batubara Indonesia

Kompas.com - 03/10/2016, 08:15 WIB

Tren harga batubara global diperkirakan masih berada di level rendah seiring turunnya harga komoditas dan berkurangnya permintaan. Situasi ini telah menimbulkan tantangan bagi perkembangan sektor batubara Indonesia. Namun, industri di dalam negeri dinilai masih mampu bertahan seiring dengan biaya produksi yang juga turun.

Sektor batubara Indonesia masih menghadapi tantangan di tengah rendahnya harga komoditas di pasar global. Harga patokan batubara termal pada indeks Newcastle diprediksi berada di kisaran 55 dollar Amerika Serikat (AS) per ton hingga 2017. Walau mengalami kenaikan sebesar 8,7 persen dibandingkan 2015, namun tidak setinggi pada 2012 yang menyentuh 93,8 dollar AS per ton.

Kenaikan harga yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir itu diperkirakan tidak akan berlanjut. Ini lantaran kenaikan harga hanya dipicu kekhawatiran adanya kekurangan pasokan akibat kebijakan pemerintah Tiongkok mengurangi pasokan batubara sebesar 550 juta ton atau sekitar 15 persen dari total produksi domestik. Kebijakan tersebut memang bertujuan untuk mendorong kenaikan harga dan menyelamatkan produsen batubara dari kebangkrutan massal.

DBS Group Research percaya harga batubara masih akan bertahan di level 60-65 dollar AS per ton pada semester kedua 2016. Ini sesuai dengan prediksi harga batubara rata-rata acuan sebesar 55 dollar AS per ton. Namun, peluang harga untuk naik lebih tinggi lagi akan sangat sulit dalam waktu dekat. Persoalannya, permintaan batubara Tiongkok masih lemah seiring upaya mengurangi polusi udara di kota-kota besar di daerah pesisir.

Perkiraan tersebut didasarkan pada kombinasi sejumlah faktor, seperti rencana Tiongkok mengurangi konsumsi batubara seiring isu lingkungan. Akan tetapi, rencana pengurangan tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar mengingat setengah dari pembangkit listrik di Tiongkok menggunakan batubara. Sementara itu, pembangunan pembangkit dari energi alternatif berjalan relatif lambat.

Di sisi lain, India diprediksi akan menjadi salah satu konsumen utama batubara dunia untuk memenuhi elektrifikasi di dalam negeri. Pembangkit listrik tenaga batubara dinilai lebih ekonomis dan menguntungkan bagi perekonomian India. Diperkirakan kebutuhan batubara India akan tumbuh 2,8 persen per tahun.

Sementara penurunan produksi dari produsen utama dunia, yakni Indonesia dan Australia, belum cukup mampu untuk mendongkrak harga batubara global. Development Bank of Singapore (DBS) Group Research mencermati penurunan produksi sekadar upaya menyesuaikan permintaan yang melemah. Alhasil, perlu penghentian produksi secara bertahap untuk mengurangi kelebihan pasokan batubara global.

Walaupun tren harga batubara global sedang rendah, sektor batubara Indonesia diprediksi masih dapat bertahan. DBS Group Research optimis industri batubara Indonesia mampu bertahan lebih lama dibandingkan negara lain. Hal ini disebabkan industri di Tanah Air dapat memangkas biaya per ton berkat rendahnya tarif kontraktor dan bahan bakar.

“Perusahaan penambangan batubara yang masuk cakupan kami berhasil mempertahankan margin kas yang stabil bahkan meski dihadapkan dengan kecenderungan penurunan harga batubara,” ujar Equity Research Analyst DBS Group Research William Simadiputra dalam laporan bertajuk “Indonesia Industry Focus: Thermal Coal Sector” edisi Mei 2016.

DBS Group Research mencatat, rata-rata margin kas sejumlah perusahaan pada kuartal pertama 2016 memang mengalami penurunan dibandingkan kuartal keempat 2015, tetapi tidak signifikan. Kisarannya masih berada di 10-15 dollar Amerika per ton. Meski tidak signifikan, produksi batubara juga mengalami penurunan.

William mengatakan bahwa perusahaan penambangan skala besar besar bisa mengurangi biaya tunai lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Selain mempunyai skala ekonomi yang lebih baik dan fleksibilitas operasional, perusahaan besar juga mempunyai daya tawar yang lebih besar dalam negosiasi tarif kontrak penambangan dengan kontraktor pihak ketiga.

Penambang batubara yang memiliki cukup cadangan juga bisa terus menurunkan strip ratio atau nisbah pengupasan tanpa mengorbankan cadangan batubara secara signifikan. Sebaliknya, penambang dengan cadangan batubara terbatas tidak mungkin menahan rendahnya harga dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan penutupan konsensi secara bertahap untuk meminimalisasi biaya operasional sebelum margin kas terangkat lagi pada dua kuartal terakhir.

Dengan demikian, penambang Indonesia yang mempunyai ruang gerak untuk efisiensi tidak perlu memangkas produksi atau menurunkan strip ratio. DBS Group Research melihat hanya sedikit pasokan yang dipotong pada kuartal pertama 2016, sementara sebagian besar perusahaan mempertahankan angka produksi selama 2016. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com