Advertorial

Industri Migas Tetap Bertahan di Masa Sulit

Kompas.com - 16/10/2016, 22:28 WIB

Sektor minyak dan gas bumi (migas) masih menghadapi masa sulit. Pemulihan di industri ini haruslah berpangkal dari sumber arus kas, yakni harga minyak dan belanja modal (capex) perusahaan migas besar.

Kejatuhan harga minyak yang terjadi sejak pertengahan 2014 telah memaksa perusahaan memangkas belanja modal di tengah tingginya biaya produksi. Kedua faktor ini bisa menjadi risiko yang mengancam pemulihan di industri migas dalam jangka panjang. Harga minyak yang rendah menyebabkan perusahaan kesulitan untuk menaikkan dana investasi.

Saat ini harga minyak memang sudah menunjukkan tren kenaikan ke 45-50 dollar AS per barrel, lebih tinggi dari perkiraan awal tahun 43 dollar AS per barrel. Pada tahun depan dan awal 2018, harga minyak diperkirakan bergerak di kisaran 50-55 dollar AS per barrel dan 60-65 dollar AS per barrel. Akan tetapi tidak gampang bagi sektor industri migas untuk membalik keadaan ini.

DBS Group Research mencatat perbaikan harga minyak ini tergantung pada sejumlah faktor kunci. Antara lain, keberhasilan konsolidasi industri melalui proses merger dan akuisisi, kemampuan perusahaan migas besar menaikkan belanja modal, peningkatan pemanfaatan dan penggunaan rig, hingga kemampuan perusahaan kapal penunjang lepas pantai melakukan penggantian kapal-kapal tua.

Jika harga minyak berhasil pulih, perusahaan yang bergerak di bidang eksplorasi dan produksi (E&P) bakal langsung menikmati hasilnya. Sedangkan bagi perusahaan pengolahan (refining), kenaikan harga minyak mentah bisa menurunkan margin keuntungan. Namun, penurunan tersebut bisa ditutup dari stok yang melimpah yang dibeli saat harga minyak rendah.

Demikian pula bagi perusahaan penyedia jasa rig dan perkapalan yang belum mendapatkan sentimen positif dari tren kenaikan harga minyak. Keduanya masih menghadapi ketidakpastian permintaan dalam 1-2 tahun mendatang.

Sementara di Indonesia, industri migas masih memiliki daya tahan yang tinggi di tengah rendahnya harga minyak dunia. Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas menjalankan strategi efisiensi dan diharapkan dapat menurunkan biaya produksi yang saat ini mencapai 25 dollar AS per barrel.

Kemudian fokus pada blok migas yang menguntungkan dan menunda rencana produksi blok migas berbiaya tinggi, terutama di kawasan lepas pantai (offshore). Efisiensi, di sisi lain, menekan margin perusahaan jasa kontraktor dan dan kapal penunjang lepas pantai karena menurunnya kontrak.

Namun tantangan terbesar yang dihadapi industri berasal dari ketidakpastian politik dan kebijakan. Pemerintah masih lambat melakukan reformasi tata kelola migas. Padahal dalam situasi saat inidukungan pemerintah sangat dibutuhkan. Persoalannya, upaya pemerintah melakukan pembenahan pun belum optimal mendorong produksi migas nasional.

“Harga minyak memang hambatan, tapi lambatnya pelaksanaan kebijakan dan reformasi energi merupakan risiko utama industri migas Indonesia di masa mendatang,” kata William Simadiputra, analis DBS Group Research dalam riset edisi september 2016 berjudul “Regional Industry Report: Oil and Gas”. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com