Advertorial

Menciptakan Keselarasan dan Keindahan Dunia Melalui Forum Budaya Semesta

Kompas.com - 18/10/2016, 10:50 WIB

Sebagai negara dengan beragam budaya yang ada, Indonesia menjadi sangat fokus dalam mempertahankan budaya agar seirama dengan pembangunan. Salah satunya adalah pertunjukan tari kolaborasi yang ditampilkan para peserta International Folk Dance Festival dengan sejumlah seniman lokal seperti Ayu Laksmi.

Tarian yang berjudul Hamemayu Hayuning Buwana berhasil memesona para peserta World Culture Forum (WCF) 2016 saat mengakhiri gala dinner di Plenary Hall Bali Nusa Dua Convention Center, Nusa Dua. Tari kreasi Bimo Wiwohatmo ini memiliki makna “untuk memperindah keindahan dunia” yang juga dapat berarti upaya melindungi keselamatan dunia baik lahir dan batin.

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, mengutarakan bahwa WCF dirancang sebagai platform yang memberi ruang untuk bertukar pikiran, dapat merekomendasikan cara baru untuk menempatkan budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan, saling memahami dan menghormati antara kebudayaan yang berbeda, hingga terciptanya masyarakat “global” yang harmoni.

Acara yang diselenggarakan dari tanggal 10-14 Oktober 2016 ini merupakan forum budaya terbesar di dunia yang melibatkan lebih dari 1.500 orang peserta yang berasal dari berbagai negara. Para peserta yang mengikuti acara ini merupakan para generasi muda yang berasal dari International Youth Forum (IYF) dan simposium-simposium budaya.

Selama dua hari, para peserta tersebut bertukar pikiran, pendapat, dan usulan melalui ruang-ruang simposium. Terdapat enam simposium yang mengangkat isu-isu penting dalam pembangunan di dunia yang berkelanjutan.

Simposium satu menyoroti bagaimana budaya menjadi penjaga alam dan desa dari segala kerusakan yang mengancam keberlangsungannya. “Kami menentang ekonomi yang merusak alam. Merusak alam berarti merusak tradisi. Kami sudah berjanji bahwa kami hanya menjual yang dapat kami buat,” ungkap salah satu pembicara, Aleta Baun, pada pertemuan tersebut.

Simposium dua membicarakan tentang air untuk kehidupan yang mengikat struktur sosial kehidupan sehari-hari. Pada simposium ini pembicara menjabarkan tentang bagaimana air dalam kaitannya dengan kehidupan manusia dan kaitannya dengan budaya adat setempat.

Dalam simposium tiga membahas mengenai “Menjalin Sejarah, Ruang Kota, dan Gerakan Budaya”. Pada simposium ini didiskusikan pentingnya integrasi sejarah dan budaya untuk pembangunan berkelanjutan.

Salah seorang pembicara, Shahbaz Khan, menegaskan jika budaya bukanlah tentang monumen semata, yang berfungsi sebagai tautan kepada sejarah dan budaya. Namun, esensinya adalah kearifan-kearifan lokal di dalamnya. Maka dari itu, kita harus bersyukur karena hidup di planet yang indah ini. “Karena itulah bumi ini harus inklusif untuk semua orang,” ungkap Shahbaz.

Simposium empat mengangkat tema “Kebudayaan dalam Dunia Digital Baru”. Teknologi sebagai cara baru dalam memperlakukan kebudayaan menjadi pokok dari ulasan keempat pembicara. Kebudayaan dapat dilihat dengan perspektif lain dengan dukungan teknologi, bukan lagi sesuatu yang kuno dan kaku tapi bisa menjadi sesuatu yang menarik.

Simposium lima membahas mengenai isu-isu pembangunan yang berkaitan dengan hubungan negara, masyarakat, dan budaya. Di akhir forum, disimpulkan isu kebudayaan yang harus diperhatikan demi terwujudnya pembangunan; pentingnya solidaritas, pemaknaan kearifan lokal, merubah perspektif tentang golongan yang termarjinalkan, menghilangkan budaya perang, serta membangun hubungan dan dialog.

Simposium enam bertemakan “Keragaman Budaya untuk Pembangunan yang Bertanggung Jawab”. Para pembicara yang hadir dalam simposium ini adalah para ahli yang memahami bidang tersebut. Simposium ini berdiskusi mengenai isu-isu keragaman budaya yang semakin menjadi kondisi nyata di banyak tempat.

Tak hanya enam simposium itu, dalam acara ini juga terjalin berbagai kerja sama bilateral antara Indonesia dengan negara-negara lain, seperti New Zealand dan Republik Islam Iran. Perjanjian dengan New Zealand berisikan pengiriman pegiat budaya ke Selandia Baru.

Sedangkan pertemuan dengan Republik Islam Iran menghasilkan harapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, agar terjadi kerja sama dalam pertukaran siswa, riset bersama, mengembangkan perpustakaan, dan bidang lainnya.

Menurut Muhadjir, hasil WCF 2016 ini dapat menjadi komitmen yang lebih mendalam dan perlu lebih sungguh-sungguh memperhatikan keanekaragaman budaya supaya pusat-pusat pembangunan menjadi lebih inklusif.

“Itulah sebabnya, Republik Indonesia mempersembahkan World Culture Forum kepada dunia. Semoga bersama-sama, pemerintah negara sahabat, sektor swasta, NGO, dan IGO, serta kelompok-kelompok masyarakat pemangku kepentingan, kita dapat memastikan World Culture Forum akan terus hadir bagi kemanusiaan,” kata Mendikbud.

Beliau juga berpesan kepada seluruh generasi muda dengan adanya Sustainable Development Goals agar dapat menjunjung kebudayaan.“Sekaranglah waktunya untuk bekerja, berdiskusi dan berpikir, untuk menyelaraskan irama kebudayaan dan irama pembangunan,” ujar Muhadjir. (Adv) 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com