Advertorial

Siti Aisyah dan Potret Kegigihan yang Tak Pernah Sia-sia…

Kompas.com - 01/12/2016, 08:00 WIB

Tak ada usaha yang mengkhianati hasil. Siti Aisyah membuktikannya.

Siti Aisyah. Perempuan 52 tahun itu sudah menjalani profesinya sebagai pelinting di Pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) Taman Sampoerna, Surabaya, Jawa Timur selama 36 tahun.

Dedikasi dan kegigihannya dalam bekerja kini telah membuahkan hasil.

Dari kerja kerasnya, ia menyisihkan sebagian penghasilan untuk anak-anaknya menyelesaikan pendidikan tinggi. Bangga tak terkira, itu yang dirasakannya.

Siti, yang tak lulus SD, tak henti bersyukur bisa mengantarkan anak-anaknya menuju kesuksesan. 

 

***

Mata Siti Aisyah berkaca-kaca saat berkisah tentang keharuannya menyaksikan putra sulungnya, Adi Kurniawan, diwisuda sebagai sarjana teknik beberapa tahun silam.

“Pas anak saya diwisuda, saya nangis. Enggak membayangkan bisa menyekolahkan anak sampai kuliah. Bapak (suami) sampai bilang, ‘Mbok ojo nangis tha, Bu. Isin (Jangan nangis lah, Bu. Malu),” kata Siti.

Adi Kurniawan kini telah menikah dan bekerja di sebuah perusahaan konsultan.

Keharuan yang sama dirasakan nenek dua cucu ini, saat putri keduanya, Anita Kurniasari, menyelesaikan pendidikan diploma di Akademi Perawat Adhi Husada, Surabaya. Bahkan, Anita menjadi salah satu peraih IPK tertinggi.

Hingga beberapa hari menjelang prosesi wisuda Anita, ia dan suaminya, Karomin (66), tak mengetahui prestasi yang diraih Anita.

“Anak saya hanya bilang, ‘Bu, beli baju seragam sama bapak, ya. Nanti kalau disuruh maju ke depan, maju’. Ternyata, dia masuk 3 besar yang nilainya paling tinggi,” kisah perempuan kelahiran 30 Juni 1964 ini.

Saat ini, Anita bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Surabaya.

Harus lebih baik

Ditemui di rumahnya di kawasan Gadukan Utara, Surabaya, Siti dan Karomin pun mengisahkan tekad keduanya untuk pendidikan ketiga buah hati mereka.

Pasangan suami-istri itu sama-sama hanya mengecap hingga jenjang pendidikan dasar. Siti merasakan bangku sekolah hingga kelas 2 SD, sementara Karomin berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, namun tak melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Siti mengatakan, ayahnya, Sikam, berprofesi sebagai nelayan di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Alasan biaya menjadi penyebab ia tak bisa melanjutkan sekolah. Sementara, ibunya, Osnah, seorang ibu rumah tangga.

“Dulu orangtua saya bilang, enggak ada biaya buat sekolah. Anak perempuan enggak usah sekolah tinggi-tinggi. Saya sedih waktu itu,” ujar Siti mengenang masa kecilnya.

Hal inilah yang memacu tekad Siti. Keinginannya menuntut ilmu terkendala persoalan ekonomi keluarga. Kelak, ia bertekad, anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Keinginan Siti ternyata sejalan dengan Karomin. Sejak membina rumah tangga sekitar tahun 1980-an (Siti lupa tahun pernikahannya), keduanya sama-sama menyisihkan penghasilan untuk biaya untuk pendidikan anak mereka.

Di tengah perjalanan, sang suami sempat mempertanyakan saat Siti tetap mendorong anak-anaknya untuk kuliah selepas menamatkan pendidikan menengah atas.

Saat itu, kesehatan Karomin, yang berprofesi sebagai sopir, memburuk. Hal ini membuat Karomin tak bisa bekerja maksimal. Sementara, berulang kali ia harus menjalani operasi yang membutuhkan banyak biaya.

Siti pun menjadi penopang utama ekonomi keluarga.

“Saya bilang, Bismillah aja. Pasti ada, diusahakan. Yang penting tetap bekerja, menyisihkan buat makan dan sekolah anak-anak,” ujar Siti.

Meski melalui masa-masa sulit, kondisi ini tak menyurutkan tekad Siti dan Karomin.

Mereka menyemangati ketiga anaknya untuk memahami kondisi ekonomi orangtuanya, sehingga bisa memanfaatkan kesempatan mengenyam pendidikan dengan baik.

Siti bersyukur, anak-anaknya, terutama Anita, tergolong berprestasi. Sejak SD hingga kuliah, Anita selalu mendapatkan beasiswa. Ia juga sempat mendapatkan beasiswa pendidikan dari PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) karena prestasinya.

“Alhamdulillah, ada beasiswa juga dari perusahaan karena anak saya nilainya bagus di sekolah. Anita itu sampai kuliah dapat beasiswa, ada juga dari BOS (bantuan operasional sekolah),” ujar Siti.

Sementara, putra ketiga Siti, Ari Kristianto, selepas tamat dari Sekolah Teknik Menengah (STM), memilih berwirausaha. Ari tak melanjutkan ke bangku kuliah, karena ingin segera merintis usaha.

Kini, Ari mengelola usaha warnet “Raider Net” di rumah kedua orangtuanya. Rumah hasil kerja keras Siti dan Karomin yang dibeli pada tahun 1994.

Menjadi pelinting

-

Siti pun melanjutkan kisahnya. Putus sekolah sempat membuat Siti kecewa. Namun, ia memahami kondisi perekonomian kedua orangtuanya tak memungkinkan untuk membiayai pendidikannya.

Siti kecil memutuskan turut bekerja untuk sekadar mendapatkan uang saku untuk dirinya sendiri.

Pada usia sekitar 11 tahun, Siti bekerja sebagai pengasuh di rumah kerabatnya. Ia dibayar Rp 50 per hari. Selama 4 tahun Siti menjalani pekerjaan ini.

Penghasilan dari mengasuh ia kumpulkan. Sesekali, ia berikan kepada ibunya.

Pada usia 15 tahun, Siti mencoba peruntungan yang lebih baik. Ia bekerja di pabrik lem. “Saya lupa, berapa gaji saya saat itu,” kata dia.

Hanya 6 bulan ia bekerja di pabrik tersebut. Kemudian, Siti pindah bekerja ke pabrik korek api di Sepanjang, Jawa Timur, selama hampir 1 tahun.

Selanjutnya, Siti menumpang di rumah kerabatnya, Sumiarsih, yang saat itu bekerja sebagai mandor di pabrik SKT Taman Sampoerna.

Sumiarsih pun mengajarkan Siti melinting rokok hingga mengajaknya bekerja sebagai pelinting pada tahun 1980.

Awal bekerja, Siti mendapatkan bayaran harian. Ia bisa melinting hingga 500 batang rokok. “Saya lupa bayarannya berapa, tapi saya senang sekali, karena terbilang lumayan untuk saya yang enggak lulus SD,” kata dia.

Lama kelamaan, jumlah lintingan rokok Siti terus bertambah. Hasil lintingannya juga mendapatkan apresiasi.

“Katanya lintingan saya bagus. Jadi enggak lama, saya sudah jadi pegawai tetap,” kisah Siti.

Setiap harinya, ia bekerja mulai pukul 05.30 hingga 13.00 WIB dan menghasilkan sekitar 2.300 lintingan rokok.

Loyalitas, bentuk syukur

Puluhan tahun mengabdi, Siti kini menjadi inspirasi bagi rekan sekerjanya. Kerja keras, kegigihan, dan loyalitasnya diapresiasi.

“Saya masuk kerja terus, dan tidak pernah dapat peringatan karena ada masalah di kantor. Bapak sakit, anak imunisasi, saya tetap masuk. Bapak yang lebih lowong waktunya, membantu urusan rumah dan anak-anak. Walau ada hujan, saya tidak pernah berhenti bekerja,” papar Siti.

Menurut Siti, ia ingin memperlihatkan semangat yang dimilikinya kepada anak-anaknya.

Di mata putra bungsunya, Ari Kurniawan, Siti adalah sosok ibu dan pekerja yang tangguh. Dari Siti, Ari belajar tentang arti kegigihan, disiplin, dan tanggung jawab dalam bekerja. 

Berbagai penghargaan dari perusahaan telah didapatkan Siti.

Memasuki masa kerja 25 tahun, Siti mendapatkan “Peniti Emas”. Terakhir, tahun lalu, ia juga mendapatkan penghargaan atas dedikasinya bekerja selama 35 tahun.

“Ya saya senang sekali, buat kenang-kenangan. Kerja 36 tahun diapresiasi,” ujar Siti.

Menjelang masa pensiun

Kini tersisa 2,5 tahun masa Siti untuk mengabdi sebagai pelinting rokok di Sampoerna.

Ia mengaku, pasti akan merindukan hari-hari yang telah dilaluinya selama puluhan tahun bekerja.

Suasana, lingkungan perusahaan, dan rekan kerja yang menyenangkan menjadi alasan Siti bertahan selama ini.

“Kalau capek, atau kurang enak badan, tinggal ke posko kesehatan minta obat. Ada salon, ada hiburan radio yang menghibur (siaran radio internal). Ada juga konsultasi dokter di radio. Jadi, saya nambah pengetahuan juga,” cerita Siti.

“Saya pasti bakal kangen, karena saya sangat mencintai pekerjaan ini. Kalau ditambahi waktu bekerja, saya masih mau. Hahaha,” lanjut dia, sambil tertawa.

Siti pun telah mempersiapkan kegiatan untuk mengisi hari-harinya ketika masa pensiun tiba.

Ia akan mendedikasikan waktu untuk mengasuh cucu dan membantu putra bungsunya mengelola usaha yang mendapatkan modal pinjaman dari koperasi karyawan Sampoerna.

“Saya berharap, saya tetap sehat, bisa terus mendoakan dan melihat anak-anak mapan. Saya bisa seperti ini juga karena dukungan mereka dan suami. Saya bahagia bisa melihat mereka berhasil,” kata Siti.

Pepatah bijak mengatakan, “Tak ada mimpi yang terlalu besar, tak ada pemimpi yang terlalu kecil”. Siti Aisyah membuktikannya.

Lihat video Ibu Siti Aisyah di sini. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com