Advertorial

2017, Pemulihan Ekonomi AS dan Tantangan Bagi Asia

Kompas.com - 23/12/2016, 09:21 WIB

Ekonomi global telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Memang pertumbuhannya tidak secepat yang diharapkan, tetapi perbaikan ekonomi di negara maju menandakan optimisme bahwa situasi pada 2017 akan semakin bergairah.

Di Amerika Serikat (AS), tanda-tanda pemulihan itu terlihat dari menurunnya pengangguran ke tingkat 4,6 persen. Ini merupakan angka terendah sejak era Perang Vietnam.

Kondisi ini yang akan diwariskan pemerintahan Obama kepada Presiden AS Donald Trump. Chief Economist DBS Group Research David Carbon memprediksi pertumbuhan ekonomi AS akan mencapai 2,7 persen pada 2017.

Proyeksi ekonomi AS yang membaik tak pelak membuat nilai tukar dollar menguat. Penguatan ini sama sekali berbeda dengan yang terjadi pada 2013-2015 lalu, yang disebabkan oleh kebijakan quantitative easing (QE)  yang dilakukan untuk melemahkan mata uang yen dan euro.

Apalagi pemerintahan Trump diprediksi mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal dan proteksi perdagangan untuk mendongkrak investasi di dalam negerinya. Kebijakan tersebut memang akan mendorong inflasi, tetapi pada saat bersamaan berhasil meningkatkan optimisme pasar. Kebijakan Trump dinilai dapat mengangkat pertumbuhan dari rata-rata 2 persen pasca-krisis 2008 menjadi ke kisaran 3 persen-4 persen.

“Ini yang kami lihat sebagai pergeseran paradigma penting,” kata ekonom senior DBS Group Research Philip Wee dalam laporan berjudul FX: USD Trump-hant.

“Belajar dari pengalaman Abenomics, kurs AS berpeluang menguat lagi jika Trump berhasil melaksanakan kebijakannya,” tutur ia.

Sementara itu, the Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan hingga ke level 1,75 persen pada akhir 2017. Implikasinya imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun juga akan meningkat signifikan. Sementara di zona Eropa, bank sentral Eropa (ECB) diperkirakan memperpanjang program QE yang akan berakhir Maret 2017.

Langkah ECB ini merupakan antisipasi atas dampak yang mungkin timbul dari pemilu di sejumlah negara Uni Eropa. Belajar dari pengalaman Brexit dan Trump, Uni Eropa kelihatannya ingin mengurangi risiko dampak meningkatnya sentimen kebencian terhadap imigran.

Referendum Italia misalnya, yang jadi perhatian bukan hanya semakin lebarnya selisih imbal hasil obligasi Italia dan Uni Eropa. “Rakyat Italia telah memilih ‘tidak’ dalam referendum, dan ini bukan cuma menunjukkan sikap anti-Uni Eropa, tapi yang lebih penting adalah membuka pintu bagi krisis politik dan perbankan di sana,” ujar Wee.

Kebijakan perdagangan Trump yang proteksionis memang bisa berdampak terhadap negara-negara Asia. Namun dampaknya belum bisa langsung disimpulkan segera. Ini mengingat sejumlah negara sebetulnya telah mencoba mencari alternatif pasar di luar AS, terutama ke Tiongkok yang saat ini telah menjadi pasar terbesar negara-negara Asia.

“Kebijakan isolasionis Trump mendorong proposal perdagangan baru dengan atau tanpa keterlibatan AS. Seperti kemitraan ekonomi kawasan yang dipromosikan Tiongkok sebagai alternatif TPP,” kata Joanne Goh, Asian Equities Strategist DBS Group Research, dalam laporan Asia equity: looking for a Trump card.

Di Asia Tenggara, perkembangan yang terjadi di AS kelihatannya kurang menggembirakan secara ekonomi makro. Kenaikan suku bunga the Fed, dollar AS, serta proyeksi inflasi akan menambah ketidakpastian rencana investasi ke depan. Di tengah situasi ini, penguatan pasar domestik perlu ditingkatkan, terlebih investasi pemerintah dan belanja rumah tangga menjadi andalan penggerak ekonominya.

Sementara performa Indonesia pada 2017 diperkirakan lebih baik daripada 2016. Namun risiko eksternal, dari kenaikan suku bunga the Fed, tetap perlu diperhatikan karena akan memperlemah nilai tukar rupiah.

Menurut ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi, ekonomi Indonesia 2017 diprediksi tumbuh ke 5,3 persen dari perkiraan akhir tahun ini sebesar 5,1 persen. Pertumbuhan ekonomi seiring kenaikan investasi menjadi 5,6 persen pada tahun depan dari 4,5 persen pada 2016.

Dari sisi konsumsi, diperkirakan stabil di kisaran 5 persen yang didukung tingkat populasi. Sedangkan inflasi diprediksi rata-rata 4,5 persen pada 2017. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun dinilai akan mampu mengendalikan defisit kembar. Program amnesti pajak, dapat menekan defisit fiskal hingga 2,5 persen.

Sementara defisit neraca transaksi berjalan diprediksi berada di kisaran 2,1 persen terhadap PDB. “BI telah lebih aktif dalam mengendalikan volatilitas di pasar uang,” kata Gundy dalam laporan berjudul ID: investment to pick up. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com