Advertorial

Mengenal “Latte Factor”, Bahaya Baru yang Menggerogoti Orang Indonesia

Kompas.com - 26/01/2017, 18:56 WIB

Hanna (25), adalah seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta yang gemar minum kopi. Ia selalu minum kopi di kedai yang harga satu cangkir kopinya bisa mencapai Rp 50.000. Lama – lama, perilaku konsumsi ini menjadi kebiasaan sehari – hari Hanna, tanpa Ia sadari.

Setiap bulan, perempuan lajang ini bisa menghabiskan Rp 700.000 sampai Rp 1.000.000 untuk membeli kopi.  Bila diakumulasikan, kata Hanna, rasanya memang berat. Namun, gaya hidup seperti itu cukup memberi kesenangan tersendiri bagi Hanna. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut sulit ditinggalkan.

Istilah latte factor ditemukan oleh David Bach, penulis buku finansial ternama. Latte factor adalah pengeluaran untuk hal yang sebenarnya tidak perlu, yang terlihat kecil dan tanpa sadar dilakukan terus menerus, hingga akhirnya membuat pengeluaran membengkak.

Selain kopi, pengeluaran untuk baju, kosmetik, transportasi online, biaya transaksi perbankan juga merupakan latte factor.

Gaya hidup seperti itu bisa jadi berbahaya. Bahkan, bisa-bisa pengeluaran lebih besar daripada penghasilan yang diperoleh setiap bulannya.  Sebuah riset dari Kadence International Indonesia pada tahun 2013 menemukan fakta bahwa 28 persen masyarakat Indonesia memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2015 juga menyatakan masyarakat Indonesia semakin konsumtif dan mulai meninggalkan kebiasaan menabung. Hal itu tergambar dari menurunnya Marginal Propensity to Save (MPS) dan naiknya Marginal Prosperity to Consume (MPC) selama tahun 3 tahun terakhir sebelum 2015.

Mulai sekarang coba pikirkan, apa latte factor Anda? Jangan – jangan faktor tersebut yang menjadi alasan dompet selalu tipis. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com