0
Kilas

Tentang Jazz dan Keberagaman di Banyuwangi…

Kompas.com - 18/05/2017, 20:49 WIB

BANYUWANGI, KOMPAS.com- Halaman di dekat beranda rumah, tepatnya teras Sanggar Uni Osing, Banyuwangi, telah dipenuhi banyak orang. Saat itu matahari baru saja terbenam, jam menunjukkan pukul 7 malam, Selasa (16/5/2017).

Warga dari RT. 03 RW. 001 Desa Kemiren adalah yang paling banyak terlihat di antara kerumunan. Di hadapannya, ada anak-anak yang sedang memainkan musik tradisional Gandrung Banyuwangi dan senandung dari Ibu Temu sebagai pembuka.

Syahdu malam itu dilengkapi dengan kudapan ringan yang disediakan gratis lengkap dengan kopi. Ada juga makanan khas Pecel Pithik yang sengaja disediakan untuk para tamu.

Sebelum acara dimulai, ada banyak orang hilir-mudik berpakaian serba hitam—pakaian tradisional Suku Osing. Mereka adalah panitia di belakang acara tersebut.

Mereka mempersilakan tamu untuk duduk di bangku-bangku yang tertata melingkar di depan sanggar.

Tak lama Gandrung Banyuwangi berhenti terdengar, rupanya band beraliran jazz Bonita and The Hus Band yang datang. Ya, acara ini memang bagian dari perjalanan konser band tersebut untuk memperkenalkan album barunya “Rumah”.

Seketika, warga memenuhi depan beranda. Ingin memandang dari dekat. Penyanyi Bonita bersama band-nya mulai memainkan musik jazz modern.

“Terima kasih untuk seluruh warga yang hadir pada malam ini. Kami sungguh merasa berada di rumah sendiri,” ujar Bonita setelah menyelesaikan lagu pertamanya.

Riuh, lagu-lagu yang dinyanyikan Bonita kerap disambut tepuk tangan warga yang menonton. Malam itu, total ada delapan lagu yang dimainkan.

Selama pertunjukan berlangsung, tak satu pun warga beranjak. Bahkan mereka yang tak mendapat jatah duduk, rela berdiri. Penonton tak dibatasi usia. Tua muda hadir malam itu, guyub.

Banyak dari mereka yang berpakaian kasual. Ada masih memakai sarung dna kopiah. Ada pula yang mengenakan kaos oblong. Maklum, area pertunjukan seni malam itu tak seberapa jauh dari rumah tinggalnya.

Bonita and The Hus Band saat menggelar konser di Beranda Rumah, Banyuwangi, Selasa (16/5/2017)KOMPAS.com/FIRMAN ARIF Bonita and The Hus Band saat menggelar konser di Beranda Rumah, Banyuwangi, Selasa (16/5/2017)

Saat malam menunjukkan pukul 21.30, beranda masih dipenuhi orang. Padahal, di hari biasa, mereka biasanya sudah terlelap.

Suasana hari itu memang tak seperti biasanya. Sampai-sampai, banyak anak muda terlihat siap mengabadikan momen lewat kamera ponsel.

“Sekali lagi terima kasih untuk malam ini. Kami merasa bukan apa-apa sebenarnya. Akan tetapi karena malam ini, (kami jadi berpikir) semoga kami ini termasuk saudara dari bapak ibu sekalian,” ujar Petrus Briyanto Adi atau akrab disapa Adoy, salah satu personel band.

Kalimat itu sekaligus menutup keriuhan malam. Pertunjukan pun berakhir. Akan tetapi, warga seperti tak rela. Mereka meminta Bonita untuk menambah nyanyian lagi. Tak disangka, permintaan itu disambut dengan anggukan.

Bonita and The Hus Band lalu lanjut memainkan lagu Juwita Malam karya Ismail Marzuki. Riuh suara kembali memenuhi beranda. Warga yang hafal lagu itu pun ikut berdendang.

Di balik konser

Tak seperti konser kebanyakan, acara memang dikemas dengan intim. Kata Bonita, mereka memang tak mengejar sisi komersil.

“Sisi komersil itu harus tetap ada, tetapi tidaklah yang utama. Menggelar konser di beranda rumah sambil menikmati musik tradisi di beranda rumah sebelumnya adalah hal tak ternilai bagi kami. Penerimaan masyarakat membuat kami kaya nilai,” ujarnya.

Pertunjukan musik Gandrung Banyuwangi.KOMPAS.com/FIRMAN ARIF Pertunjukan musik Gandrung Banyuwangi.

Sebelumnya Bonita and The Hus Band bertemu dengan pemusik Gandrung dari Banyuwangi saat sama-sama menjadi wakil Indonesia pada gelaran Museum Superfest di Jerman pada 2015.

Bonita dan band kagum dengan musik tradisi yang dibawakan oleh pemusik dari Banyuwangi sehingga terus berkomunikasi sesampainya di Tanah Air. Terinspirasi hal itu, album “Rumah” yang baru di-launching pun terasa nuansa etniknya.

Keunikan musik etnik itu semakin menyadarkan band itu dengan kekayaan yang dimiliki Indonesia. Di dalam album itu pun mereka berkolaborasi dengan sejumlah musisi etnik seperti Butong Olala dan Silir Pujiwati.

Mereka juga menyisipkan nilai keberagaman dengan lirik yang terdiri dari tiga bahasa dalam salah satu lagu di album tersebut.

“Inspirasi musik etnik dalam hasil karya kami salah satunya dapat dilihat dari lagu Satu Hari Sebelum Esok. Pada salah satu bagiannya, kami menyanyikan dengan bahasa Batak, Nias, dan Jawa sesuai dengan suku asal masing-masing personel,” ujar Adoy. (KONTRIBUTOR/FIRMAN ARIF)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com