Kilas daerah

Dedi Mulyadi Sampaikan Makna Umrah

Kompas.com - 23/05/2017, 13:33 WIB

KOMPAS.com - Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi beserta rombongan sudah tiba di Tanah Suci Mekah, Selasa (16/5/2017) dini hari. Dedi bersiap menjalankan ibadah umrah.

Dedi mengaku merasakan makna mendalam saat melakukan umrah yang dijalaninya bersama anggota rombongan, terutama saat "thawaf' atau mengelilingi kabah sebanyak tujuh kali.

Menurut dia, ber-thawaf merupakan simbol dari pelaksanaan aktifitas sehari-hari dalam seminggu yang berjumlah tujuh hari. Sementara mata kiri yang melihat kabah saat thawaf adalah kesan kehidupan ini terpusat pada zat yang tunggal, yakni Allah SWT.

Dalam rangkaian ibadah itu Dedi dan rombongan lebih memilih untuk ber-thawaf di lingkar terluar. Hal itu untuk memberikan kesempatan kepada jemaah umrah lain agar dapat mendekati kabah dan mencium Hajar Aswad.

Selain itu, sebagai kepala rombongan, cara tersebut dipilih Dedi agar jemaah lain tidak terinjak. Para anggota pun tak perlu berebut mencium batu hitam yang menurut keterangan dibawa oleh Nabi Adam AS dari surga tersebut.

"Bagi para pecinta Allah SWT dan Rasul-Nya, itu (mencium Hajar Aswad) tidak masalah. Akan tetapi yang terpenting bagi kita adalah jangan sampai upaya keras tersebut malah merugikan diri kita dan menyakiti orang lain," jelas Dedi.

Dedi juga terkesan terkait pakaian ihram yang dikenakan. Menurutnya, pakaian tersebut menjadi pengingat bagi siapapun pada kematian. Bahwa kelak saat meninggal, manusia hanya akan dibungkus oleh kain seadanya tanpa perhiasan apapun.

Rukun umrah lain, yakni sa’i, juga turut menyita perhatian Dedi. Sebagaimana diketahui, sa’i merupakan aktifitas berlari kecil dari Bukit Shafa menuju Bukit Marwa.

"Kegiatan yang tidak boleh tidak, ini harus dilakukan oleh para jemaah sebagai refleksi dari perjuangan seorang ibu, yakni Siti Hajar, saat mencari air untuk puteranya Ismail ketika ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim," tutur Dedi.

"Ini simbol perjuangan seorang Ibu," tambahya.

Adapun tahalul, yakni prosesi memotong sebagian kecil rambut, biasanya dilakukan setelah sa’i. Menurut Dedi, ini merupakan refleksi bahwa manusia tidak boleh terlena, bahkan memuja mahkota dirinya.

Kesan dalam tahalul, menurut Dedi, manusia harus senantiasa memiliki kerendahan hati dalam menjalani kehidupan.

"Rambut itu bagian paling atas dari diri manusia, untuk menutup rangkaian ibadah ini harus dipotong. Itu simbol kerendahan hati," kata Dedi.

IRWAN NUGRAHA/KONTRIBUTOR PURWAKARTA

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com