Advertorial

Aturan Main Bisnis Kuliner

Kompas.com - 30/05/2017, 15:00 WIB

Bisnis kuliner ada yang langgeng, ada pula yang tidak. Jatuh-bangun dalam dunia bisnis kuliner dialami banyak orang, salah satunya Anke Dwi Saputra. Namanya telah dikenal di kalangan pengusaha, khususnya bisnis waralaba.

Anke adalah pria di balik lahirnya Eat Republic dan Nachos Hot. Meski perjalanan bisnis kulinernya tidak mudah, Anke terus berjalan dan membuat bisnis-bisnis baru. Yang terbaru, ia merintis bisnis Bakso Bom. Selanjutnya pada tahun 2015 Anke mendirikan Sentra Waralaba Indonesia (SWI).

Pengalamannya di dunia bisnis, khususnya kuliner, cukup beragam. Oleh karena itu, Anke berbagi pengalaman seputar dunia bisnis kuliner, termasuk mengenai berbagai aturan main di dalamnya.

Dikutip dari Smart-money.co, Anke mendirikan SWI sebagai wadah inkubasi startup waralaba di Indonesia. Tujuannya, supaya bisa memiliki standardisasi untuk bermain di level nasional dan internasional. Karena tidak semua orang memiliki pengetahuan, network, untuk bisa mewaralabakan bisnisnya.

“Di satu sisi, kami yang merupakan konsultan di SWI sudah berpengalaman dalam bisnis, baik waralaba maupun nonwaralaba. SWI sudah dari 2015 dan merupakan perubahan nama dari You brand. You brand sendiri lebih ke konsultan bisnis, dan merupakan cikal SWI dari 2008,” tutur Anke.

Pada tahun 2008, kata Anke, SWI bergerak di Marketing Communication Consultant kemudian ingin beralih ke satu konsep agar punya produk dan terbentuklah SWI sebagai inkubasi pendampingan UKM dengan layanan lengkap termasuk kekuatan mengakuisisi UKM sehingga dari segi permodalan, pemasaran, strategi, branding, dan mewaralabakan didukung SWI. UKM hanya mempersiapkan produk saja.

Bagaimana dengan awal mula Anke terjun ke bisnis waralaba? Awalnya, Anke menjalankan bisnis Nacho Hot yang mencapai 80 cabang. Seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah 10 cabang. Setelah itu, barulah Anke mencoba peruntungan di bisnis bakso.

“Kami tertarik dengan bakso karena itu makanan sepanjang masa. Kemudian kita lakukan pendekatan ke beberapa pemain UKM bakso,” kata Anke.

Saat itu, Anke merasa mendapat kecocokan produk dan chemistry dengan salah satu pedagang bakso, bernama Suparmin. Anke kemudian menggandeng Suparmin menjadi mitra dalam produksi. “Dia memimpin produksi, kita (SWI) menyempurnakan produk,” kata Anke.

Itulah cikal bakal lahirnya Bakso Bom. Anke mengatakan, tim SWI lebih fokus ke pengembangan dari sisi pemasaran, branding, dan waralaba.

Anke yakin bahwa bakso adalah jenis makanan yang bisa bertahan di pasaran. Mengapa demikian? Ia kemudian menceritakan pengalamannya saat bertemu Bondan Winarno di Eat Republic.

Saat itu Anke bertanya, “Bisnis makanan apa yang bisa bisa diwaralabakan secara internasional?” Menurut Bondan, hanya ada empat makanan, yaitu nasi goreng, sate, soto, dan bakso.

“Untuk orang bule, makan pecel lele juga susah karena pedas dan lidahnya tidak cocok. Oleh karena itu kita tertarik bakso karena ada banyak peminatnya, makanan sepanjang masa, rentang usia lebih banyak dari anak kecil sampai dewasa,” tutur Anke.

Ada kalanya isu bakso mengandung campuran daging babi, bahan pengawet, atau boraks. Isu itu sempat menimbulkan keresahan. Namun, Anke juga melihatnya sebagai peluang.

“Jadi kalau orang makan Bakso Bom, maka dia tak usah resah. Di sini tidak pakai vetsin, tidak pakai bahan pengawet, tidak pakai boraks, tidak pakai campuran daging lain selain sapi, bahkan di sini tidak pakai campuran telur,” kata Anke.

“Kalau bakso di tempat lain mungkin ada yang memakai telur. Namun, kadang ada yang alergi telur. Ada juga yang menggunakan soda agar kelihatan gendut dan waktu direbut menjadi besar, pas dimakan menjadi kempis. Ini yang menjadi alasan kami masuk ke bakso alami,” lanjut Anke.

Sejak diakuisisi oleh SWI, Bakso Bom mengalami banyak perubahan. Menurut Anke, perubahan itu mencapai 90 persen.

“Pertama dari sisi produk, sudah tidak pakai vetsin. Varian pun berubah. Konsistensi produk pun dijaga, besar kecil bakso sudah memiliki ukuran standar. Jadi gram bakso sudah diatur. Jadi meski masih menerapkan cara manual, tetap ada standardisasi,” kata ia.

Selain itu, konsep gerai juga sudah modern. Memang tidak terlihat mewah, tetapi mengedepankan kebersihan dan kenyamanan.

“Harga diatur di level menengah Rp20 ribuan dan tidak lebih dari 25 ribu. Untuk bakso beranak baru di atas Rp30 ribu. Jadi segmennya luas,” kata Anke.

Strategi promo menarik

Strategi pemasaran Bakso Bom dikenal unik. Anke menjelaskan, Bakso Bom menarik konsumen dengan memberi banyak promo. Misalnya, promo makan untuk ibu hamil selamanya berlaku. Selain itu, jika ada pembukaan cabang baru, biasanya Bakso Bom memberi gratis 100 porsi pertama.

“Kemudian ada promo untuk pelajar, mahasiswa, beli 3 bayar 2. Jadi kita sering ada promo,” ujar Anke.

Bakso Bom juga gencar melakukan pemasaran melalui media sosial. “Misalnya bulan ini bikin kontes penulisan untuk food blogger. Makanya kalau lagi dicari banyak yang menulis,” tutur Anke. 

Kemudian setiap 3 bulan sekali kita mengeluarkan varian-varian baru. Bakso selimut tetangga, contohnya. “Nanti habis lebaran kita keluarkan varian baru lagi. Jadi kita punya simpanan menu yang sudah kita riset. Semua strategi untuk semua cabang sama, namanya waralaba harus sama. Hanya saja, ada beberapa harga (di cabang) beda tipis sesuai lokasi dan biaya sewa ruko,” papar Anke.

Waralaba Bakso Bom

Hingga saat ini, ada 14 cabang Bakso Bom. Untuk waralaba, kata Anke, seleksinya ketat. Tidak semua peminat bisa mengambil waralaba. Misalnya, peminatnya merupakan suami-istri yang bekerja. Mereka tidak bisa mengambil waralaba karena Bakso Bom bukan bisnis sampingan yang bisa ditinggal-tinggal.

Selain itu, peminat juga harus lolos tes wawancara. “Bagi mereka yang tidak pernah berbisnis, kita tidak akan terima. Pokoknya mereka harus pernah dagang apapun, dagang kecil-kecilan, terus pernah rugi atau belum, kalau belum pernah rugi juga tidak boleh,” kata Anke.

Justru, kalau pernah mengalami rugi besar, peluang diterima lebih besar. “Apalagi yang pernah rugi Rp 100 juta, itu justru bagus. Tapi kalau ruginya baru Rp 10 juta belum diterima. Karena semakin sering orang rugi, makin sering ia belajar. Jadi rasa kehilangan itu berkorelasi dengan komitmen,” tutur Anke.

Ia menuturkan, untuk mengontrol kualitas makanan pada setiap cabang, ia menerapkan prinsip konsistensi, khususnya terkait rasa. Cara menjaga konsistensi rasa di Bakso Bom adalah adanya satu central kitchen. “Itu mungkin baru kita sama merek-merek besar yang sudah melakukannya,” ujar Anke.

Sementara mengenai stabilitas harga saat harga bahan baku melonjak, kata Anke, pihaknya tidak pernah mengurangi kualitas dan sudah mempersiapkan margin jika terjadi fluktuasi harga.

“Kenaikan sebesar 5-10 persen masih oke. Tapi kalau ganti harga, belum sampai ke arah sana. Saat Idul Fitri atau Lebaran yang biasanya harga tinggi, ibaratnya saya rugi tidak apa-apa. Jadi saya tidak naikkan harga,” papar Anke.

“Tapi kalau sudah sangat terpaksa seperti tahun lalu, kita naik Rp 1.000 dan kita kasih info pada pelanggan karena situasi tertentu, jadi bukan ganti daftar harga,” lanjut Anke.

Tips membuka usaha kuliner

Kepada orang-orang yang berniat memulai bisnis, khususnya kuliner, Anke berpesan, jangan latah. Misalnya, saat restoran mie sedang tren, lalu semua orang bikin restoran mie. Sebaiknya, hal itu jangan dilakukan.

Anke mengatakan, banyak orang beranggapan memulai bisnis kuliner cukup dengan modal bisa masak enak, cari koki, kemudian cari tempat. Padahal, menurut Anke, tidak bisa begitu.

“Setelah masuk bisnis makanan, perlu SOP rinci, waspada kecurangan (dari pesaing) dan isu,” kata Anke.

Belajar dari pengalamannya, Anke mengatakan bisnis makanan itu harus sangat rinci dan tidak bisa dianggap mudah. Sebab, bisnis makanan itu kaitannya dengan perut orang.

“Bisnis makanan harus memiliki keunikan. Sekarang kecenderungan orang bisnis makanan cuma mengandalkan tema seperti rumah sakit atau penjara tapi tidak membangun kompetensi inti di kualitas produk,” tutur Anke.

Misalnya, nama mie penjara memang memiliki konsep unik, baru, dan bikin orang mau datang. Namun sebenarnya, yang membuat orang mau datang lagi bukan konsep penjaranya, melainkan karena rasa mie yang memang enak. Apalagi kalau sudah kunjungan kedua, ketiga, dan seterusnya sudah tidak terkejut lagi, rasa makanan menjadi pertimbangan.

“Banyak orang gagal di bisnis makanan karena ia terlalu fokus di pembuatan tema-tema atau konteks, bukan pada konten makanan itu sendiri,” ujar Anke.

Sumber: Smart-money.co

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com