Advertorial

Menghidupkan Pusaka Kota, Merawat Toleransi Dalam Keberagaman

Kompas.com - 02/06/2017, 17:47 WIB

Tanggal 3 Juni 2017 Kota Bogor memasuki usia ke 543 tahun. Umur itu menandai sebuah perjalanan tumbuh kembang teramat panjang yang telah ditempuh kota ini. Sebagai tempat bermukim, selama itu pula Kota Bogor menyuguhkan situasi dan kondisi yang aman dan nyaman bagi kehidupan warganya. Baik warga asli maupun warga pendatang.

Perjalanan panjang sejarah kehidupan Kota Bogor telah menjadikan siapapun, berasal dari mana pun dan dengan agama apapun, bisa menjadi orang Bogor. Keberadaan gereja Katolik, gereja Protestan, wihara dan masjid yang sudah ratusan tahun, adalah bukti perjalanan panjang hubungan yang rukun dan terjalinnya persaudaraan diantara sesama orang Bogor.

Ada banyak rumah ibadah dan pusat kegiatan agama yang telah menjadi saksi dari perjalanan panjang kehidupan beragama yang tenang dan harmonis. Bangunan-bangunan pusaka Kota Bogor ini  tetap hidup dan berfungsi dengan berbagai aktivitas sebagaimana mestinya untuk merawat keberagaman agama yang dianut warganya. Diantaranya adalah :

Masjid At-Thohiriyah.

Masjid berbentuk joglo yang juga dikenal sebagai Masjid Agung Empang ini merupakan masjid terbesar pertama di Bogor. Berdiri di atas tanah seluas 750 meter persegi, mesjid ini dibangun pada tahun 1817. Nama “At-Thohiriyah” diambil dari nama pendirinya yaitu, Rd. H. Moehammad Thohir, cucu Dalem Cikundul Cianjur atau R. Arya Wiratanu Datar II yang telah mewakafkan tanahnya.

Pembangunan masjid dilanjutkan oleh R.Adipati Wiranata. Kemudian disempurnakan oleh R.Adipati Soerya Winata alias RH Muhammad Sirodz – Regent atau Bupati Bogor pertama yang dikenal dengan sebutan “Dalem Sholawat” yang  wafat tahun 1872.

Bangunan kubah masjid ditopang 4 tiang, sebagai simbol dari 4 sahabat Rasullulah. Keberadaan empat tiang ini menurut Ketua DKM Mesjid At Tohiriyah H. Wawan Sukmawan, membuat bangunan ini batal dirombak menjadi masjid bertingkat. “Kami idak mengizinkan karena amanah pendiri, 4 tiang tersebut tidak boleh diubah termasuk mimbarnya,” ungkap Wawan. Sejumlah tokoh nasional dan internasional pernah shalat di masjid ini. Diantaranya Presiden Sukarno dan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser serta  Wakil Presiden Adam Malik.

Kawasan Empang di sekitarnya kini sudah berkembang menjadi kawasan perdagangan dengan pertokoan yang dimiliki termasuk oleh kalangan non muslim. Tetapi bagi Wawan hal itu tidak menjadi masalah. “Kami tentunya hidup berdampingan dengan mereka (non muslim, red), karena orang Bogor  hidup beragam baik suku, agama dan ras,” katanya.

Masjid Al Mustofa

Masjid Al-Mustofa berlokasi  di RT 04 RW 10, Kelurahan Bantarjati, Kecamatan Bogor Utara. Merupakan masjid tertua di Bogor karena dibangun tahun 1728 oleh  penyebar Islam asal Banten bernama KH. Tubagus Mustofa Bakri dan KH. Raden Dita Manggala asal Cirebon. Mereka menetap di Kampung Baru yang merupakan cikal bakal pemukiman di Kota Bogor paska era Pajajaran.

Generasi ke-5 penerus pemilik mesjid Al-Mustofa Kota Bogor

Masjid ini menyimpan lembaran Al-Quran dan khotbah Sholat Jumat berbahan kulit yang ditulis tangan KH. Tubagus Mustofa Bakri. “Bentuknya besar, tapi sekarang sudah dipindahkan ke Jakarta,” ungkap  Ketua DKM Mesjid Al Mustofa, Mukti Natsir.

Masjid berukuran 15 x 50 meter ini sudah beberapa kali mengalami renovasi. Tiang yang terbuat dari kayu jati dengan sembilan goresan yang melambangkan Walisongo kini sudah berganti beton. Akan tetapi nuansa arsitektur khas Banten dan Cirebon masih terasa tetap kental.

Kampung Baru yang dulu dikenal sebagai kampung santri dan kini berganti nama Bantarjati Kaum terbuka bagi siapapun. Sebab seperti yang dikatakan Mukti, “Kami harus selalu bisa hidup berdampingan dengan penganut agama lain. Itu tidak masalah, karena Islam adalah rahmatan lil alamin.”

Katedral

Katedral yang berdiri megah di Jalan Kapten Muslihat dibangun tahun 1889.  Menurut Pastur Mikail Endro Susanto, sejak berdirinya gereja ini sudah menyelenggarakan kegiatan seperti perayaan Ekaristi setiap Sabtu dan Minggu. Pembinaan rohani umat  dilakukan pula dengan berbagai macam kegiatan peningkatan wawasan hidup beriman Katolik dengan membentuk persekutuan-persekutuan.

Diantaranya persekutuan Pria Sejati dan kelompok Wanita Bijak, sebagai kelompok diskusi untuk merawat harmoni kehidupan keluarga. “Kalau bicara gereja sebenarnya bukan bicara soal bangunan tetapi membangun umat agar menjalani hidup sebagai orang Katolik yang baik,” ujar Endro Sutanto.

Dalam bersilahturahmi dengan umat agama lain, menurutnya umat Katolik didorong untuk mewujudkan hidup dalam kerukunan. Mulai dari menjalin kerjasama dengan kelompok agama lain, menghormati agama lain, menghargai perbedaan dan melihat perbedaan sebagai sesuatu yang indah layaknya pelangi yang terdiri dari berbagai warna.

Atas dasar itu, Endro aktif sebagai anggota Basolia, komunitas Bogor Sahabat. Juga menjaga silahturahmi antar tokoh agama Islam yang kerap juga dilakukan pastur lainnya. Ketika lebaran ia berkunjung ke Pesantren  Al Falaq Pagentongan, Pesantren Habib Novel, Islamic Center Al-Ghazali dan lainnya. Giliran perayaan Natal dan Paskah, Banser Ansor Kota Bogor membantu pengamanan.

Harmonisasi dan kerukunan umat beragama di Kota Bogor menurutnya sudah terjalin sejak dulu. Maka anggapan bahwa Kota Bogor sebagai kota intoleran tidaklah benar. Menurutnya, jangan hanya karena satu permasalahan (masalah Gereja Yasmin-Red) lalu disamaratakan menjadi tidak toleran. “Bogor ini tempat yang sangat damai bagi semua agama,” ungkap Endro.

Gereja Zebaoth

Gereja Zebaoht berada di lingkar halaman Istana dan Kebun Raya Bogor.  Menurut Pendeta Omiek Kaharudin, 3 tahun lagi  Gereja Zebaoth akan memasuki usia satu abad. Berbagai kegiatan keagamaan berlangsung rutin di gereja ini untuk melayani umat Protestan. Namun demikian menurut Omiek, pihaknya sangat membuka diri dengan umat beragama lain.

Tidak hanya melayani umat sendiri, sebagai sebuah institusi keagamaan Zebaoth juga melayani umat agama lain. Pada perayaan keagamaan dan ulangtahun misalnya, gereja memberikan sumbangan kepada warga di lingkungan sekitar. Selain itu, Gereja juga menghidupkan pos-pos pelayanan di beberapa wilayah pemukiman muslim seperti di di Cigudeg dan Lawang Gintung. Jadi “Ada gereja Bethel di pemukiman Muslim dan semua saling menghormati, rukun, aman dan damai,” ungkap Omiek.

Gereja Zebaoth Kota Bogor

Menurutnya, pada tataran pemuka lintas agama kerukunan ini sudah menjadi kesepakatan dan komitmen bersama. Hal inilah yang harus diturunkan kepada warganya. Maka ia berharap akan lebih banyak kegiatan dialog antar umat beragama yang juga diarahkan kepada umat. “Saya berharap di hari jadi Bogor sekarang Kota Bogor semakin aman, damai dan suasananya tetap kondusif,” katanya

Pesantren Al Falak

Pesantren Al Falak di Pagentongan, Bogor Barat merupakan salah satu institusi pendidikan agama tertua di Kota Bogor. Didirikan oleh Kyai Haji Tubagus Falak Abbas di era perlawanan masyarakat Cilegon Banten terhadap penjajahan Belanda awal tahun 1900-an. Dalam membina umat, di pesantren ini  terhimpun 27 ajaran tarekat dan Falak Abbas menjadi musrsyid. Kini yang masih berjalan adalah tarekat Khadiriah Naqsabandiyah.

Menurut KH. Tb. Agus Fauzan, Ketua Yayasan Al Falak yang merupakan generasi ke-4, Falak Abas merupakan sosok terbuka. Memiliki semangat menjaga ukhuwah wathaniyah maupun Insyaniyah atau persaudaraan sebangsa dan sesama manusia. Itu sebabnya almarhum akrab berhubungan dengan  warga Tionghoa yang memiliki keyakinan berbeda. “Beliau itu orang yang tidak memaksakan untuk mengubah keyakinan dan senantiasa menjaga persahabatan dan persatuan,” kata Fauzan.

Nilai-nilai inilah yang tetap diamalkan anak cucunya serta para santri. Itu sebabnya ketika berlangsung acara haul (peringatan wafat) Mama Falak, secara pribadi beberapa warga Tionghoa maupun mereka yang beragama Nasrani ikut hadir. “Kami sudah terbiasa dengan hal yang seperti itu, sudah diajari dan ditunjukan oleh Abah Falak bahwa kita harus mejaga sikap dan memiliki akhlak dengan sesama,” lanjut Fauzan.

Pasraman Giri Kusuma

Pura yang sekaligus menjadi tempat belajar agama Hindu, memang merupakan bangunan yang belum tergolong sebagai pusaka kota. Namun kehadiran Pasraman Giri Kusuma yang terletak di Kompleks perumahan IPB IV di Kelurahan Tanah Baru tersebut, telah melengkapi keberadaan rumah ibadah atau pusat kegiatan agama, semua agama di Kota Bogor.  

Menurut catatan yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan Luh Manik Andayani, S.Ag, pura ini mulai dibangun tahun 2006. Ditujukan  untuk memenuhi kebutuhan umat Hindu dan para perantau dari Bali yang sudah mulai berada di Kota Bogor tahun 1972. Kebutuhan itu terutama untuk belajar agama Hindu bagi anak-anak mereka yang belajar di sekolah umum.

Kegiatan belajar bagi para siswa SD berlangsung pada minggu 1 dan 3. Sedangkan untuk siswa SMP dan SMA berlangsung pada minggu ke2 dan ke 4. Jumlah siwa pada tahun ajaran 2015-206 berjumlah 278 orang dan seluruh kegiatan berlangsung di Pasraman Giri Kusuma berad di bawah naungan Yayasan Dharma Shanti Bogor.

Vihara Dhanagun

Vihara Dhanagun berada di kawasan Pasar Bogor. Semula bernama Klenteng Ho Tek Bio. Diperkirakan dibangun tahun 1672 oleh orang-orang Hokian Tiongkok, yang bermukim dan berniaga di sekitar Lawang Saketeng. Perubahan nama menjadi Vihara Dhanagun terjadi tahun 1969, untuk menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah kala itu yang melarang hal-hal berbau Tiongkok.

Menurut Ayung, salah seorang pengurus vihara, sesuai namanya vihara ini memelihara dan mengembangkan ajaran Budha dengan aliran Budhayana. Berdiri di lahan seluas 1.600 meter persegi dan pengelolaannya dilakukan oleh Yayasan Dhanagun.

Dhanagun kini hampir berperan penuh sebagai perwakilan warga keturunan Tiongkok dalam berakulturasi dan membaur dengan warga lain. Dalam konteks itulah banyak kegiatan ditujukan untuk memperkuat hubungan diantara sesama warga Kota Bogor. Diantaranya melalui perayaan Cap Go Meh. Perayaan keagamaan di purnama pertama setelah tahun baru tersebut, kini menjadi Street Festival Cap Go Meh (CGM).

Jamaah Vihara Dhanagun sedang bersembhayang

CGM telah mewujud sebagai  ajang bertemunya berbagai kebudayaan masyarakat yang ada di Kota Bogor. “Kami bermaksud ikut mengembangkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia melalui pawai budaya sebagai pemersatu bangsa,” kata Ayung.

Ayung menuturkan, di bulan puasa ini, Dhanagun juga berencana untuk menyelenggarakan kegiatan berbuka puasa bersama bagi umat muslim serta memberikan santunan kepada anak-anak yatim. Kegiatan tahunan ini merupakan salah satu bentuk toleransi pihaknya kepada sesama warga yang berbeda keyakinan. “Intinya, kami tidak pernah membedakan suku, bangsa dan agama. Apa yang bisa kami bantu ya kami bantu,” kata Ayung.

Pusaka-pusaka kota yang terawat di Kota Bogor, bukan hanya sekadar saksi bisu perjalanan panjang hubungan antar penganut agama yang harmonis. Pusaka-pusaka yang berusia ratusan tahun itu nyatanya tetap mampu berperan untuk merawat harmoni hubungan antar warga Bogor yang hidup dalam keberagaman suku dan agama. (Advertorial)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com