Advertorial

Upaya Melestarikan Batik sebagai Warisan Budaya Indonesia

Kompas.com - 02/06/2017, 19:05 WIB

Peresmian batik Indonesia sebagai warisan budaya oleh dunia internasional melalui United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada 2009 lalu menuntut masyarakat Indonesia agar lebih bertanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian batik sebagai sebuah warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Hal tersebut disampaikan oleh Jahja Setiaatmadja selaku Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) melalui forum Kafe BCA VI bertema “Khasanah Batik Pesona Budaya” yang diselenggarakan di Menara BCA, Jakarta, Selasa (23/5/2017) siang.

"Pendalaman masyarakat tentang batik itu perlu ditingkatkan. Dulu, sejak kecil itu kita sudah kenal sama batik. Mulai dari saat sekolah misalnya, hingga dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari yang namanya batik. Namun, saat ini belum ada yang bisa memicu generasi muda untuk tahu lebih dalam tentang batik," ujarnya.

Jahja menilai bahwa masyarakat saat ini selalu terjebak di permukaan dalam memahami batik sebagai fesyen. Padahal, setiap karya batik telah melalui proses pembuatan yang tidak mudah dan memiliki makna filosofis yang begitu indah. 

"Jadi kita kalau beli batik kadang suka lihat 'oh ini keren, bagus' beli dengan harga sekian abis itu sudah. Tidak ada proses untuk melihat lebih jauh di dalam sebuah produk batik," ungkap Jahja.

-


Melalui forum ini, BCA berharap agar masyarakat, khususnya generasi muda Indonesia, bisa mengenal lebih dekat rekam jejak filosofi batik dari masa ke masa. Dengan begitu, masyarakat memiliki rasa memiliki dan juga rasa tanggung jawab untuk melestarikan batik sebagai sebuah warisan kebudayaan. Jahja juga berharap agar generasi muda ikut bergerak memanfaatkan batik sebagai tonggak utama dalam industri ekonomi kreatif Indonesia.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif Bekraf Poppy Savitri. Ia menganggap batik bukan sekadar busana atau tren, melainkan salah satu warisan budaya. Melalui batik, generasi muda bisa memahami pentingnya ketekunan dan ketelitian nenek moyang dalam menghasilkan sebuah karya. Poppy juga menjelaskan bahwa masyarakat perlu mengetahui etika berpakaian dengan batik agar tidak meremehkan makna yang terkandung.

"Misalnya dulu waktu saya mau wisuda disuruh ibu saya memakai batik dengan motif yang mencerminkan kebahagiaan. Begitu pun sebaliknya ketika saya ikut melayat orang yang meninggal, orang tua mewajibkan memakai motif yang mencerminkan duka cita," jelasnya. 


Sementara itu, persoalan lain yang dihadapi dalam industri batik adalah rendahnya penghargaan dan kesejahteraan para pengrajin batik. Hal itu bertolak belakang dengan para penjual batik yang memperoleh penghasilan tinggi. Masyarakat juga harus jeli dalam membeli batik dan memperhatikan sisi filosofis serta memperhatikan pertimbangan ekonomi di balik proses pembuatan Batik.

"Mereka itu melalui banyak tahap mulai dari nyoret, nglowong, ngengreng, nembok, ngerok, nglorod, mbironi, nyolet, dan nyoga. Prosesnya panjang. Namun, para pengrajin dibiayai rendah sekali per tahap kemudian dijual mahal di kota, menguntungkan penjual, tapi para pengrajin tidak sejahtera. Ini yang perlu diperhatikan,"

Founder Galeri Batik Jawa Indigo Nita Kenzo juga meminta para pelaku industri batik untuk memperhatikan dampak lingkungan dengan kembali memakai bahan pewarna alami untuk menghasilkan produk batik yang ramah lingkungan. 

"Pewarnaan alami ini sebenarnya sama bagusnya dengan pewarna sintetis. Ini juga menjadi upaya kita mematuhi anjuran internasional dari Badan Kesenian Dunia untuk menghasilkan karya dengan pewarna alami yang ramah lingkungan," jelas Nita.

Rektor Universitas Pekalongan Suryani juga angkat biacara mengenai pentingnya kalangan akademisi untuk turut berpartisipasi dalam upaya pelestarian batik. Caranya, dengan menyelesaikan berbagai persoalan dari hulu ke hilir dalam industri batik dan melakukan riset mendalam. Langkah lain adalah dengan melakukan pelatihan kewirausahaan serta sosialisasi hak kekayaan intelektual dan persoalan lingkungan dari industri kerajinan batik.

Dalam kesempatan yang sama, BCA juga meluncurkan buku berjudul Batik Pekalongan: Dari Masa ke Masa yang ditulis oleh Budi Mulyawan. Buku ini diharapkan menjadi pengingat bagi masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap batik. Jahja juga mengungkapkan, pihaknya telah membentuk Desa Wisata Binaan BCA dan bekerja sama dengan sejumlah pengrajin batik di Pekalongan untuk menghasilkan 23.000 batik bagi para karyawan BCA dari Sabang sampai Merauke. (Adv) 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com