kabar ketenagakerjaan

Pemerintah Terus Antisipasi Dampak Ketenagakerjaan Teknologi Digital

Kompas.com - 30/06/2017, 14:44 WIB

JAKARTA – Pemerintah terus berupaya mengantisipasi dampak ketenagakerjaan yang disebabkan cepatnya perkembangan teknologi digital, atau yang popular disebut industri 4.0.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri, ekonomi digital menyisakan dinamika baru hubungan ketenagakerjaan. “Hubungan pekerjaannya bersifat virtual, fleksibel dan cenderung kemitraan. Dari sisi ketenagakerjaan, harus ada aturan yang jelas, karena melibatkan pekerja dan pemberi kerja,” kata Menteri Hanif, Jumat 30 Juni 2017.

Bisnis transportasi online misalnya, harus ada regulasi yang mengatur hubungan kerja, tarif, jaminan sosial untuk sopir dan penumpangnya,  penegakan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta hal lainnya. Tanpa regulasi yang jelas, industri ini berpotensi menciptakan gesekan sosial.  Saat ini, Kementerian Ketenagakerjaan sedang menyelesaikan rancangan regulasi yang mengatur hal itu. Regulasi penting untuk menjamin kepastian hak pekerja, pemberi kerja, konsumen dan konsekuensi ketenagakerjaan lainnya,  serta menghindari potensi gejolak sosial.

Terkait hal itu, berbagai kajian telah dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif, departemen Perhubungan dan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Kajian difokuskan pada ketenagakerjaan di era ekonomi digital, seperti bagaimana memberikan payung regulasi serta mengantisipasi dampaknya.  Kajian ini juga bekerjasama dengan organisasi buruh dunia (ILO), organisasi yang konsen pada masalah ini, serta mendiskusikan pengalaman negara lain.

Selain menyiapkan regulasi, pada saat yang sama pemerintah juga terus mendorong pertumbuhan startup (bisnis rintisan) yang berbasis digital. Saat ini, jumlah startup di Indonesia sekitar dua ribu. Seiring terus meningkatnya pengguna telepon pintar dan internet di Indonesia, pada tahun 2020, jumlah startup di Indonesia diperkirakan melonjak hingga 20 ribu startup.

Data Kementerian Komunikasi dan dan Informasi, transaksi e-commerce di Indonesia pada 2016  mencapai sekitar US $20 miliar  atau sekitar Rp 261 triliun. Tidaklah berlebihan jika pemerintah menargetkan pada 2020, Indonesia menjadi pusat ekonomi digital di Asia Tenggara.

Sebelumnya, dalam sebuah seminar di Jakarta, Direktur ILO untuk Asia Pasifik, Gary Rynhart mengatakan, dampak revolusi teknologi tak bisa dihindari. Riset ILO yang menunjukkan, risiko dari digitalisasi teknologi telah menghilangkan 86 persen pekerjaan sektor garmen dan alas kaki di Vietnam, Kamboja dan Myanmar. “Kondisi Indonesia tak jauh beda. Sektor padat karya, jasa, pertanian dan manufaktur yang paling terancam,” ujarnya.

Baca tentang
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com