kabar ketenagakerjaan

Kisah Isnaini Faiz Prakoso, Mantan TKI yang Kini Sukses Jadi Bos Minimarket

Kompas.com - 19/07/2017, 18:48 WIB

Tekad yang kuat akan berbuah keberhasilan. Barangkali kalimat tersebutlah yang cocok untuk menggambarkan perjalanan hidup Isnaini Faiz Prakoso (44).

Pria asal Ponorogo, Jawa Timur ini lahir dari orang tua yang bekerja sebagai buruh tani. Ia juga tidak mengenyam pendidikan tinggi. Namun, tekad kuat dan sikap pantang menyerah yang ia miliki telah mengantarnya meraih kesuksesan dan memiliki hidup yang lebih baik.

Lulus dari pesantren modern, pria yang akrab disapa Pras ini mencoba mengadu nasib di negeri orang sebagai TKI. Bermodal pinjaman uang senilai Rp 1,4 juta dari bank, Pras berangkat ke Korea Selatan pada tahun 1996.

“Saya terinspirasi dari teman-teman yang bisa mengenal budaya negara lain, membeli rumah dan kendaraan dari penghasilan sebagai TKI. Akhirnya saya bulatkan tekad untuk menjadi TKI dan berangkat ke Korea,” kisah ayah dari satu orang anak ini saat ditemui di tengah acara Smesco Bussiness Festival di Jakarta, Selasa (18/7/2017) lalu.

Bekerja di Korea Selatan, saat itu Pras mengantongi gaji sekitar Rp 1 juta setiap bulan. Jumlah uang tersebut sangat lumayan pada tahun 1996. Dua tahun menjadi TKI di Korea Selatan, mau tak mau ia harus pulang ke Indonesia. Perusahaan tempatnya bekerja di negeri ginseng harus gulung tikar karena terkena imbas krisis dunia.

Sangat disayangkan, setelah sampai di tanah air hasil jerih payahnya di Korea Selatan tidak bisa ia nikmati dalam waktu lama. “Hasil kerja selama dua tahun di Korea ludes karena orang tua memberi pinjaman ke tetangga,” ujarnya dengan logat jawa yang kental.

Merasa masih harus berjuang, satu tahun kemudian ia berangkat ke Taiwan untuk bekerja. Tidak dengan bantuan orang tua, Pras berangkat dengan dana pinjaman dari bank. Ia bertekad sekembalinya dari Taiwan nanti ia harus memiliki aset berupa tanah atau bangunan di tepi jalan.

Benar saja, pulang dari Taiwan, Pras berhasil membeli rumah toko (ruko) dari hasil kerjanya. Ia merenovasinya menjadi ruko dua lantai untuk dikontrakkan. Namun sayang, uang hasil jerih payah di Taiwan habis sebelum ruko tersebut jadi. “Saya terlalu percaya pada tukang. Kurang rencana anggaran belanja yang matang,” katanya.

Kejadian itu sempat membuatnya bingung. Ia ingin kembali lagi ke Taiwan untuk bekerja agar dapat memperoleh dana untuk pembangunan ruko miliknya. Sayang, keinginannya terhalang oleh moratorium di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pras akhirnya memilih menekuni usaha jual beli palawija bersama mertuanya.

Setelah ada kesempatan, barulah ia kembali berusaha pergi ke Taiwan. Ia akhirnya berangkat dengan modal pinjaman emas dari tetangganya. Meski sulit, Pras akhirnya berhasil menjadi tenaga operator mesin dan dipercaya menjadi penerjemah bahasa di tempatnya bekerja.

Untuk menambah penghasilan Pras berjualan pulsa dan produk-produk makanan dari Indonesia. Mulai dari mi instan, bumbu, saos, hingga rokok. Target pasarnya adalah teman-teman sesama TKI yang kangen dengan produk-produk Indonesia.

Ia hanya berjualan dalam skala kecil, tetapi saat berjualan itulah ia merasa bahwa jiwa wirausahanya mulai bertumbuh. "Target pasarnya ya TKI. Jumlahnya 130-200 orang saja. Saat menjalani usaha tersebut akhirnya tumbuh jiwa wiraswasta dan saya juga akhirnya dipercaya menjadi agen jasa pengiriman uang para TKI di Taiwan ke Indonesia. Ya seperti TIKI atau JNE begitu, " ujarnya.

Merasa punya modal cukup untuk membuka usaha di tanah air, pada tahun 2008 Pras kembali ke Indonesia. Ia membuka toko dengan nama A3 Mart. Ia menggunakan ruko yang sempat dibangunnya sebagai tempat usaha.

Awalnya toko tersebut hanya punya tiga rak untuk menjajakan produk-produk kebutuhan sehari-hari. Perlahan, ia berhasil mengembangkan usahanya hingga punya 15 karyawan dan omzet Rp 15 juta per hari. Ia saat ini juga dipercaya menjadi motivator dan Ketua Sampoerna Ritel Community.

“Saya berharap dapat memotovasi TKI lainnya. Saya selalu punya motto untuk memulai segala sesuatunya dari sekarang. Untuk sukses tidak harus menunggu sempurna sebab tak ada manusia yang sempurna. Kedua, bertanyalah kita hendak kemana? Tapi jangan tanya kita darimana, " ujarnya.

Baca tentang
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com