Advertorial

Kampanye Menggugah SK-II untuk Perempuan Lajang Usia 30-an

Kompas.com - 21/07/2017, 15:09 WIB

Menurut Dr. Sandy To, Ph.D, seorang sosiolog dan penulis buku laris berjudul China’s Leftover Women, diskriminasi terkait usia adalah isu global yang harus dihadapi perempuan saat ini, terutama perempuan lajang. Tekanan menjadi sangat nyata saat ia mencapai usia 30 tahun ke atas. Pada usia tertentu, ketika seorang perempuan lajang dan tidak memiliki keluarga, ia dipandang sebagai sebuah anomali. Apakah benar?

Dua alasan utamanya adalah ..

Kuatnya tradisi turun-menurun turut menjadi alasan pertama mengapa pendapat dari sosiolog di atas terasa relevan. Ambil contoh di Indonesia, banyak daerah yang memiliki tradisi menikah muda, seperti Sumatera Barat, Indramayu, Madura, hingga Sulawesi. Alasannya beragam, mulai dari  untuk menaikkan derajat keluarga hingga alasan ekonomi.

Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara Asia lain—bahkan di dunia—juga mengalami hal sama. Menurut studi yang dilakukan oleh merek perawatan kulit prestise global SK-II, hampir 6 dari 10 wanita Jepang dan lebih dari setengah wanita Korea Selatan merasa tidak senang dengan bertambahnya usia.

Bahkan film dokumenter pendek berjudul Marriage Market Takeover yang diusung oleh SK-II, menarik perhatian yang sangat besar di Cina. Pasalnya, dokumenter tersebut menyorot stigma “sheng nu”, atau leftover women bagi perempuan Cina usia di atas 27 tahun yang belum menikah. Melalui pendekatan positif, SK-II ingin memberikan inspirasi bagi perempuan dalam menghadapi tekanan sosial tersebut.

Lalu yang kedua adalah alasan biologis. Setiap perempuan memiliki biological clock yang berkaitan dengan kesehatan dan jumlah sel telur. Semakin usianya bertambah, maka tingkat kesuburan perempuan semakin berkurang. Oleh karena itu, mengapa sebaiknya perempuan menikah di usia muda dan produktif, agar lebih mudah memiliki anak.

- -

Tekanan menjadi lajang di usia matang versi Andini Effendi

Apakah nilai seorang perempuan hanya ditentukan dari alasan biologis saja? Seorang jurnalis dan news anchor Andini Effendi memiliki pendapat mengenai tekanan sosial yang  umumnya dihadapi oleh perempuan.

“Memang ada pressure yang dirasakan saat saya mencapai usia 30 ke atas. Apalagi sekarang mau menyentuh usia 35 di tahun ini. Jadi, mungkin dianggap seperti alien, terutama di Indonesia yang rata-rata orang menikah muda. Saya dianggap terlalu progresif, terlalu modern dan carreer minded. Padahal sebenarnya tidak, karena memang belum dapat jodohnya saja,” ujarnya.

Satu-satunya tekanan yang ia rasakan adalah ingin memberikan kebahagiaan kepada kedua orangtuanya yang sudah memasuki usia di atas 60 tahun. Sebagai anak pertama dan perempuan satu-satunya, Andini ingin menghadirkan cucu kepada orangtuanya, meskipun ia tidak pernah terlalu mendapat tuntutan dari mereka berdua. “They’re very subtle,” tambahnya

Keuntungan lajang di usia matang

Jika Andini bisa mewakili pemikiran dari perempuan lajang usia 30 tahun ke atas yang masih aktif, maka ini pendapatnya: “Pertambahan usia akan membuat Anda lebih matang. Anda lebih memikirkan kualitas hidup, seperti saya yang merasa lebih bahagia dan bersyukur dengan hidup. I’m very content with myself. Hal tersebut membuat saya merasa nyaman menjalani hidup dan tidak peduli dengan pendapat orang lain. Saya juga merasa lebih tenang dibanding Andini usia 20-an, sehingga saya tahu apa yang saya mau. Mungkin, hal tersebut yang menyebabkan saya jadi lebih memilih dengan siapa saya mau menghabiskan waktu bersama dan menjadi pasangan hidup,” ujar perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di New York University ini.

Tekanan sosial terkait usia ini cukup pantas menjadi sebuah diskusi untuk mengenyahkan stigma dan kegelisahan perempuan, sehingga mereka bisa mendapat kepercayaan diri di usia matang. Saat ini SK-II menyoroti topik tersebut dengan mengusung kampanye “The Expiry Date”.

Lewat sebuah video pendek dengan judul yang sama (klik di sini untuk menonton video), SKII ingin mengubah istilah tanggal kadaluarsa yang dirasakan banyak perempuan seperti aslinya. Tujuannya adalah untuk menampilkan garis waktu yang tidak terucapkan dan tanggal kadaluarsa yang ditujukan oleh masyarakat kepada perempuan. Sehingga diharapkan akan memicu percakapan seputar tekanan terkait usia bahwa perempuan di seluruh dunia mengalaminya.

“Kita memang punya expiry date (dalam hal biologis), namun kita bisa mengatasinya. Zaman sekarang teknologi dan ilmu pengetahuan sudah semakin canggih,” komentar Andini ketika membahas mengenai tenggat waktu perempuan.

“Apa yang menjadi takdir saya? Saya tidak tahu. Tapi yang saya mau adalah menjadi yang terbaik di bidang yang saya geluti. Saya ingin berkeliling dunia, karena dunia ini begitu besar dan saya tidak mau tinggal di satu tempat. Idealnya, saya ingin punya anak sebelum usia 40, sehingga saya berencana melakukan IVF (In Vitro Fertilisation). Namun, saya tetap percaya bahwa saya bisa berencana, namun tetap Tuhan yang menentukan. So I’ll just go with the flow,” tutupnya. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com