Kilas

Resep agar Warga Berpenghasilan Tidak Tetap Bisa Punya Rumah

Kompas.com - 24/08/2017, 07:47 WIB


SEMARANG, KOMPAS.com - Harga tanah di wilayah perkotaan yang melambung tinggi berdampak pada sulitnya memenuhi penyediaan perumahan.

Bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) atau mereka yang tidak mempunyai penghasilan tetap, harga tanah yang mahal membuat impian memiliki rumah sulit terealisasi.

Mahalnya harga tanah sebanding dengan sulitnya mencari perumahan bersubsidi di perkotaan.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengakui kesulitan mencari pengembang yang bisa menyediakan rumah murah atau rumah bersubsidi di kota besar.

Penyebabnya, perekonomian sebuah kota meningkat. Selain itu, infrastruktur kota yang relatif baik ikut melambungkan harga tanah.

Baca: Kampung Nelayan Tambaklorok Bakal Bebas Banjir

Lantas apa saran Wali Kota Semarang?

"Solusinya, dari kalangan perbankan membeli tanah dan membangun rumah murah. Kemudian, meminta support ke pemerintah," kata Hendrar dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (23/8/2017).

Dengan cara itu, dia melanjutkan, para pengembang bisa bekerja sama dengan perbankan untuk membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Para pengembang juga tidak bakal direpotkan dengan harga tanah yang tinggi, karena yang membeli tanah adalah pihak perbankan.

Penyediaan rumah sejahtera tapak yang difasilitasi dengan skema KPR FLPP mencapai 24.843 unit di seluruh Indonesia. www.shutterstock.com Penyediaan rumah sejahtera tapak yang difasilitasi dengan skema KPR FLPP mencapai 24.843 unit di seluruh Indonesia.

Saat ini, rumah dengan bunga rendah telah ditawarkan sejumlah bank. Informasi tentang kredit pemilikan rumah (KPR) dengan bunga ringan perlu disosialisasikanke masyarakat.

"Kami berupaya agar informasi itu tersosialisasi dengan baik," katanya.

Penataan kawasan

Hendrar berharap masyarakat dapat memiliki rumah yang sehat dan layak huni. Selain itu, Pemerintah Semarang mengadakan program bedah rumah yang tidak layak huni, serta penyediaan 6 rumah susun sewa (rusunawa) yang dapat menampung hingga 2.125 kepala keluarga.

Tak hanya itu, Pemerintah Semarang terus menata pemukiman penduduk yang makin padat.

Menurut Hendrar, masyarakat saat ini tertarik untuk beraktivitas di Kota Semarang yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah.

Akibatnya, pemukiman penduduk menjadi padat. Penataan kawasan padat penduduk tidak sebatas bangunan, namun juga masyarakat yang ada di dalamnya.

"Semua pihak harus terlibat, yakni pemerintah, pengusaha, pewarta, dan penduduk,” ujarnya.

Revitalisasi, fasilitasi, dan persuasi merupakan upaya yang dilakukan Pemerintah Semarang untuk menata kawasan.

Suasana Kampung Batik Semarang, Desa Bojong, Semarang Timur, Jawa Tengah, kini terlihat lebih rapi dan indah dengan lukisan-lukisan bertemakan batik di berbagai temboknya, Jumat (16/6/2017).KOMPAS.com/MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Suasana Kampung Batik Semarang, Desa Bojong, Semarang Timur, Jawa Tengah, kini terlihat lebih rapi dan indah dengan lukisan-lukisan bertemakan batik di berbagai temboknya, Jumat (16/6/2017).

Sejumlah kampung padat penduduk di Kota Semarang telah direvitalisasi melalui program kampung tematik dan penciptaan kampung kreatif. Seperti, kampung seni, kampung jawi, kampung bandeng, kampung batik, serta kampung pelangi yang belakangan sempat viral dan menjadi sorotan dunia.

Langkah fasilitasi dilakukan dengan memberikan 2.125 unit hunian vertikal atau rusunawa dengan biaya murah. Rusunawa berada di Kelurahan Bandarharjo, Kelurahan Pekunden, Plamongan, Kelurahan Kaligawe, Kelurahan Karangroto, serta Kudu.

Fasilitasi juga dilakukan dengan pemberian kredit murah, sebesar tiga persen per tahun sebagai modal usaha bagi masyarakat.

Upaya terakhir yaitu persuasi, dilakukan dengan menawarkan kepada masyarakat sejumlah hunian murah sederhana.

"Kami menargetkan membenahi 11.000 unit rumah tidak layak huni," ujarnya. (KONTRIBUTOR SEMARANG/ NAZAR NURDIN)

Baca tentang
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com