Advertorial

Menilik Kontribusi Industri Otomotif Bagi Tanah Air dari Masa ke Masa

Kompas.com - 31/08/2017, 12:25 WIB

Saat ini industri otomotif dipandang sebagai salah satu sektor industri non-migas yang memberi kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dikutip dari Tribunnews.com, per akhir 2016 lalu industri otomotif tercatat menyumbang 10,47 persen dari total PDB nasional.

Sektor industri ini juga tergolong padat karya dan telah membuka peluang bagi banyak tenaga kerja lokal. Penyerapan tenaga kerja sektor industri ini cukup besar. Pada 2016, Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto, kepada Kompas.com, mengatakan bahwa penyerapan tenaga kerja mencapai 1,5 juta.

“Jumlah itu terdistribusi pada berbagai sektor, mulai dari industri perakitan, industri komponen lapis pertama, kedua, dan ketiga, sampai di tingkat bengkel resmi salesservice, dan spare parts,” ujarnya.

Selain itu, rantai industri otomotif dari hulu ke hilir juga melibatkan banyak sektor industri lain. Wakil Presiden Jusuf Kalla, seperti dikutip Kompas.com, bahkan pernah mengatakan bahwa jika industri otomotif berkembang maka sektor industri pendukungnya juga akan ikut berkembang.

Tidak berlebihan jika industri otomotif saat ini termasuk ke dalam sebelas sektor industri non-migas yang dijadikan prioritas untuk dikembangkan pemerintah dan disebut sebagai barometer laju ekonomi nasional.

Dimulainya lokalisasi komponen

Perjalanan industri otomotif hingga menjadi salah satu sektor yang diperhitungkan di tanah air dimulai empat dekade lalu. Tepatnya tahun 1969 hingga awal 1970-an ketika pemerintah membuka keran impor komponen mobil maupun mobil utuh dari negara-negara produsen otomotif ke tanah air melalui perusahaan Agen Pemegang Merek (APM).

Seiring dengan perkembangan impor, pasar otomotif mulai menggeliat dan angka penjualan kendaraan bermotor meningkat hingga 50 ribu unit. Permintaan akan mobil yang terus meningkat dan kebijakan pemerintah kemudian membuka peluang untuk memproduksi otomotif di dalam negeri. Tepatnya pada pertengahan 1974 pemerintah membatasi impor mobil.

Hanya perusahaan APM yang sudah bisa memproduksi suku cadang secara lokal saja yang boleh mengimpor. Mobil-mobil yang belum menggunakan suku cadang lokal dikenakan pajak tinggi.

Pemerintah kemudian mendorong  kehadiran Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana (KBNS) untuk menyediakan alat angkut serbaguna yang dapat membantu pengembangan industri-industri di Indonesia. Salah satu yang paling diingat kehadirannya adalah Toyota Kijang.

Tidak hanya ikut mendorong pengembangan industri nasional dengan mempermudah mobilitas, kehadiran Kijang juga menjadi titik tolak perkembangan industri otomotif di tanah air. Mobil ini dirancang di Indonesia sesuai karakteristik dan kebutuhan masyarakat, serta kondisi geografis di Indonesia. Rangkanya juga diproduksi dan dirakit di Indonesia dengan komponen lokal.

Menanggapi fenomena bahwa mobil ini tidak hanya digunakan untuk kegiatan niaga, melainkan juga menjadi alat angkut keluarga, Toyota kemudian memperbarui rancang bangun Toyota Kijang generasi pertama dan meluncurkan model-model selanjutnya dengan konsep kendaraan penumpang yang multiguna.

“Kandungan komponen lokal terus ditingkatkan dari generasi ke generasi. Dari awalnya hanya 19 persen, komponen lokal pada generasi terbaru kijang saat ini menjadi 85 persen. Otomatis pemasok lokal yang terlibat dalam produksi semakin banyak,”  jelas Edward Otto Kanter, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).

Edward mengatakan saat ini jumlah industri lokal yang menjadi pemasok melonjak dari 8 perusahaan jadi 139 perusahaan. Tenaga kerja yang terlibat juga menjadi semakin banyak. Industri semakin bergerak.

Kehadiran Kijang secara tidak langsung juga membuka segmen pasar kendaraan penumpang, terutama MPV (Multi-Purpose Vehicle). Segmen yang paling subur hingga kini. GAIKINDO mencatat segmen kendaraan ini menguasai hampir 50 persen pasar otomotif nasional.

Perkembangan industri otomotif di masa itu memberi efek domino yaitu turut berkembangnya industri pendukung seperti industri logam sebagai bahan baku suku cadang, produksi suku cadang, baterai, hingga pengecatan lokal.

Basis produksi global

Data dari ASEAN Automotive Federation yang dipublikasikan dalam studi automotive-cluster.org menunjukkan Indonesia saat ini merupakan salah satu pemain penting di industri otomotif Asia Tenggara. Indonesia adalah negara produsen otomotif terbesar kedua. Posisi pertama diduduki oleh Thailand dan di posisi ketiga Malaysia.

Tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, saat ini Indonesia juga terus digenjot untuk menjadi basis produksi global. Peluang investasi yang cerah mendukung perwujudan ambisi tersebut.

Saat ini sudah ada beberapa merek otomotif yang menjadikan Indonesia basis produksi global. Salah satunya Toyota yang berinvestasi sejak 1971 untuk mengembangkan basis produksi globalnya di Indonesia.

Saat ini Toyota memiliki lima pabrik terintegrasi yang berlokasi di Sunter dan Karawang. Kelima pabrik tersebut didukung lebih dari 9.000 karyawan yang 99 persennya sumber daya lokal. Alih teknologi agar sesuai dengan standar pabrik-pabrik globalnya juga dilakukan Toyota di kelima pabrik tersebut.

Pabrik terbaru Toyota di Karawang menerapkan standar dan sistem produksi global Toyota untuk memberikan produk-produk terbaik bagi semua pelanggan, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor.

“Yang terpenting ketika bicara mengenai kualitas global adalah kompetensi karyawan, karenanya di setiap fasilitas manufaktur tersedia Toyota Learning Center (TLC) untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuatn karyawan. TLC menjadi pusat transfer teknologi dan keahlian,” ujar Edward Otto Kanter.

Edward juga mengatakan bahwa TLC tidak dimanfaatkan hanya oleh karyawan Toyota tetapi juga oleh pemasok lokal dan sekolah kejuruan yang ada disekitar wilayah fasilitas manufaktur.

Dijadikannya Indonesia sebagai basis produksi global oleh perusahaan-perusahaan otomotif dunia memberi efek yang positif bagi perkembangan industri otomotif nasional.

Mengutip dari artikel Kompas.com, pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan dijadikannya Indonesia sebagai basis produksi global akan memberi efek positif bagi perekonomian. “Jika produsen menjadikan Indonesia sebagai basis global, bisa dibayangkan berapa tenaga kerja yang terserap, jumlah ekspornya, dan pemasikan pajaknya bisa dimanfaatkan,” ujarnya.

Selain memiliki kontribusi dalam peningkatan PDB dan pemasukan pajak saja. Basis-basis produksi global juga akan mendongkrak kualitas produksi otomotif dan daya saing sumber daya manusia di bidang otomotif. 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com