Advertorial

Meramal Masa Depan Industri Hulu Migas Indonesia “PR” Besar Indonesia untuk Masa Depan Industri Hulu Migas

Kompas.com - 21/09/2017, 18:55 WIB

Tanpa disadari, energi menjadi hal yang begitu penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia sehari-hari. Pasokan energi berbentuk bahan bakar minyak dan gas contohnya, sangat dibutuhkan sebagai pembangkit listrik dan bensin untuk moda transportasi.

Mulai dari listrik. Zaman sekarang, betapa repotnya bila listrik di rumah tidak menyala seharian. Aktivitas di malam hari bisa terhenti. Sebab, tak ada listrik artinya tak bisa menyalakan komputer, koneksi internet rumah, lampu baca, ataupun televisi. Pekerjaan rumah tangga pun bakal terganggu. Contohnya, tidak bisa menyeterika, mencuci pakaian dengan mesin, atau menyalakan mesin pompa air.

Satu hal lagi yang tak bisa lepas dari aktivitas manusia, bahan bakar minyak. Setiap hari selalu ada kendaraan roda dua maupun roda empat mengisi daya di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Ketika stok bahan bakar minyak (BBM) menipis, media massa kerap memberitakan betapa mengularnya antrean kendaraan di SPBU.

Ini tandanya, BBM telah menjadi kebutuhan pokok manusia, dalam hal transportasi dan mobilitas. Terlebih, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor adalah 104 juta unit. Lalu pada tahun 2015 meningkat jadi 122 juta unit.

Artinya, kebutuhan akan energi di Indonesia pun melonjak. Pasalnya, bukan hanya sektor transportasi yang membutuhkannya, tetapi juga industri manufaktur. Industri manufaktur sedang dan besar tercatat bertumbuh sebanyak 4 persen pada tahun 2016.

Data-data di atas mengisyaratkan bahwa kebutuhan energi akan terus meningkat di masa yang akan datang. Itu sebabnya, pasokan energi harus seimbang dengan kebutuhan tersebut, sehingga aktivitas di Indonesia tidak terhenti.

Sampai saat ini, minyak dan gas bumi (migas) masih menjadi sumber energi utama di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2016 dari Dewan Energi Nasional (DEN), migas berkontribusi sebanyak 69 persen dari total bauran energi nasional pada tahun 2015.

Meski di masa mendatang kontribusi energi baru terbarukan diprediksi meningkat, kontribusi migas pun diperkirakan tetap signifikan. Persentasenya, migas berkontribusi sebanyak 47 persen di tahun 2025, dan 44 persen di tahun 2050.

Di saat migas masih diharapkan untuk menopang kebutuhan energi masa kini dan masa depan, kenyataannya, lifting migas justru turun dari 2,34 juta barrel setara minyak per hari pada tahun 2010 menjadi 1,928 juta barrel setara minyak per hari pada Juli 2017. Data ini diperoleh dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Tanpa penemuan cadangan baru, lifting diperkirakan terus merosot jadi 1,75 juta barrel setara minyak per hari pada tahun 2020. Hal ini menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh pihak-pihak yang bergerak di sektor hulu migas.

Mengapa lifting migas menurun dan apa solusinya?

Jika ditanya mengapa lifting migas terus merosot, jawabannya adalah karena produksi migas di Indonesia sangat bergantung pada lapangan-lapangan tua. Sebagai informasi, saat ini sekitar 72 persen produksi migas dilaksanakan di lapangan-lapangan yang dipakai lebih dari 30 tahun. Secara fisik, kondisi lapangan tersebut akan terus melemah, sehingga produksi migas dari sana menurun.

Agar tak menimbulkan dampak yang lebih buruk ke depannya, pihak-pihak terkait punya “PR” alias pekerjaan rumah, yaitu melakukan penambahan produksi. Caranya, pertama, dengan menggunakan teknologi baru pada lapangan-lapangan yang sudah ada. Kedua, melakukan eksplorasi untuk mencari cadangan-cadangan migas baru.

Upaya menambah produksi migas tentunya membutuhkan investasi yang besar. Jika ada investasi, maka sumber daya migas yang ada di Indonesia bisa termanfaatkan dengan baik dan tepat guna.

Oleh karena itu, selama ini pemerintah bekerja sama dengan kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS) yang menyediakan investasi sekaligus melakukan eksplorasi dan produksi migas untuk pemerintah Indonesia. Hasil produksi tersebut akan dibagi dengan pemerintah Indonesia.

Pertanyaannya, apakah iklim investasi di industri hulu migas Indonesia sudah cukup mendukung? Secara global, harga minyak dunia mengalami keterpurukan sejak tahun 2014 lalu dan belum kembali normal hingga sekarang. Dampaknya, perusahaan migas mesti menekan pengeluaran, termasuk untuk berinvestasi. Hal ini mereka lakukan untuk menghindari kerugian.

Hal ini tentu berpengaruh pada industri hulu migas dalam negeri. Indonesia ditantang untuk mampu menjamin iklim investasi hulu migasnya lebih menarik dari negara lain, sehingga perusahaan migas tidak ragu menanamkan dananya di sini.

Tentunya perusahaan migas cenderung memilih negara yang menjamin kemudahan dalam berinvestasi. Sementara di Indonesia sendiri investor masih mengeluhkan soal ketidakpastian regulasi dan kemudahan perizinan. Lagi-lagi, ini menjadi “PR” untuk pihak-pihak terkait di sektor hulu migas di Indonesia.

Artinya, semua pihak perlu bekerja sama menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan demikian, sektor hulu migas dapat terus memasok kebutuhan energi dalam negeri, membangkitkan semua aktivitas, dan akhirnya membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia.  

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com