Artikel ini ditulis oleh:
Sri Yunanto Ph.D
Direktur Eksekutif Institute For Peace and Security Studies (IPSS)
Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengganti UU No 17/2013 tentang Organisasi Masyarakat mendapat komentar positif maupun tak sedap dari berbagai kalangan. Komentar positif dalam bentuk dukungan berasal dari para politisi utamanya yang berasal dari partai politik pendukung pemerintah di DPR. Dukungan komponen masyarakat misalnya berasal dari 13 Ormas Islam dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Dukungan dari masyarakat juga dapat dilihat dari survei yang dilakukan oleh Center For Strategic and International Studies (CSIS). Survei itu menyebutkan bahwa dari masyarakat yang mengetahui Perppu No. 2 tahun 2017, 66 persen mendukung ditetapkannya Perppu. Para pendukung Perppu No. 2 tahun 2017 ini menyambut gembira ditetapkannya Perppu ini. Mereka menilai bahwa Perppu ini merupakan langkah taktis dan strategis Pemerintah Jokowi-JK dalam melindungi Pancasila dan UUD 1945, menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia
Sementarara itu survei CSIS menyebutkan bahwa kelompok masyarakat yang kurang atau tidak mendukung berjumlah 29,3 persen. Bisa jadi masyarakat yang tidak atau kurang mendukung ini terdiri dari 3 bagian.
Pertama adalah kelompok yang sama sekali tidak menyetujui. Kedua, adalah kelompok yang tidak memahami maksud dan tujuan Perppu tersebut. Bagian kelompok ketiga adalah kelompok yang terkena provokasi dari kelompok pertama.
Salah satu komentar atau pandangan yang tidak mendukung Perppu yang perlu mendapatkan tanggapan serius dikemukakan oleh Fadli Zon dalam Tabloid Suara Islam, edisi 233, halaman 6. Menurut politisi dan juga salah satu pimpinan DPR ini, penetapan Perppu No. 2 tahun 2017 yang akan digunakan untuk membubarkan HTI dan Ormas-Ormas lain yang dituding anti Pancasila ini dinilai sebagai bagian dari gaya diktator Presiden Jokowi .
Benarkah Presiden Jokowi bertindak diktator dalam penetapan Perppu No. 2 tahun 2017 ini?
Tuduhan diktator yang dilontarkan Fadli Zon terhadap presiden ini merupakan hal yang serius dan perlu mendapatkan tanggapan. Sebelum menilai kebenaran penilaian yang diberikan oleh politisi partai Gerindra itu, marilah kita pahami makna kediktatoran (dictatorship) terlebih dahulu.
Dalam Oxford Concise Dictionary Of Politics yang ditulis oleh Iain McLean and Alistair McMillan, 2003, halaman 150, kediktatoran, dalam konteks modern, dimaknai sebagai sebuah pemerintahan yang absolut yang tidak dibatasi oleh hukum, konstitusi atau faktor-faktor sosial politik di dalam suatu negara (In modern usage, absolute rule unrestricted by law, constitutions and, or other social and political factors within the state). Dalam abad kedua puluh, karakteristik kediktatoran itu dilekatkan kepada rezim-rezim totaliter, seperti Hitler (Jerman), Mousollini (Italia), dan Stalin (Uni Soviet).
Bagaimana dengan Penetapan Perppu No. 2 tahun 2017? Apakah presiden mempunyai kewenangan absolut yang tidak dibatasi oleh konstitusi? Jika kita kaji prosedur penetapan Perppu ini menunjukkan adanya peran lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagai lembaga tinggi negara yang saling mengontrol atau membatasi kewenangan presiden.
Pada Ayat 1 pasal 22 UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa presiden sebagai pimpinan eksekutif diberikan hak untuk menetapkan Perppu dalam kegentingan yang memaksa. Kontrol legislatif terhadap presiden disebutkan dalam ayat 2 pasal yang sama, di mana Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Ayat 3 pasal yang sama menjelaskan konsekuensi dari fungsi kontrol DPR yang mengharuskan pemerintah untuk mencabut Perppu jika tidak disetujui oleh DPR.
Saat ini Perppu No. 2 tahun 2017 yang diteken Presiden Jokowi sedang mengalami proses politik, yaitu pembahasan di DPR. Hasil yang ditunggu adalah apakah nantinya DPR akan menerima Perppu tersebut atau menolaknya.
Fungsi kontrol MK pertama sebagai salah satu pelaku kehakiman adalah memberikan tafsir atau penjelasan terhadap pasal 22 UUD NRI 1945. Dalam keputusan MK No. 138/PUU-VII/2009, dijelaskan tiga indikator tentang kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya situasi yang mendesak untuk menyelesaikan permasalahan yang menjadi objek Perppu.
Kedua, terjadi kekosongan hukum dalam menyelesaikan masalah atau kerangka hukum tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tidak bisa diatasi dengan cara membuat hukum dengan prosedur biasa, karena akan memakan waktu yang lama sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk ditangani.
Fungsi kontrol kedua adalah melakukan pengujian apakah Perppu bertentangan dengan konstitusi. Pasal 10 ayat 1 huruf a UU ini menegaskan fungsi kontrol MK terhadap produk UU (termasuk Perppu). Dalam pasal ini MK berfungsi mengadili tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Selama ini MK telah melakukan pengujian terhadap 12 Perppu tentang berbagai bidang. Terkait dengan Perppu No. 2 tahun 2017, pada saat ini mekanisme kontrol dan pembatasan MK yang disebutkan dalam huruf a Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 sedang berjalan. Saat ini MK sedang menerima gugatan oleh tujuh penggugat yang terdiri dari individu dan ormas yaitu Afriady Putra (Organisasi Advokat Indonesia/OAI), mantan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto, Aliansi Nusantara, Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), Sharia Law Institute, Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silahturahmi Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslim Indonesia, dan Tim Advokasi Cinta Tanah Air.
Proses hukum dan proses politik yang berjalan di DPR ini menunjukkan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh presiden bukanlah absolut melainkan dibatasi oleh UUD 1945 dan keputusan MK. Proses pembahasan Perppu di DPR menunjukkan bahwa kewenangan presiden secara politik dibatasi oleh kewenangan para anggota DPR yang merupakan representasi dari rakyat.
Pembatasan itu akan termanifetasi dalam sikap DPR yang menerima atau menolak Perppu ini. Sedangkan peran MK yang membatasi kewenangan presiden dalam bentuk uji materi apakah Perppu itu bertentangan dengan konstitusi. Uji materi itu merupakan permohonan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan kata lain keputusan presiden dibatasi oleh MK yang menerima permohonan gugatan dari masyarakat.
Proses politik di DPR dan MK menunjukkan bahwa kedua lembaga tinggi negara itu bisa menganulir atau melakukan pembatasan ketetapan presiden tentang sebuah Perppu. Dengan kata lain, kewenangan presiden dalam menetapkan sebuah Perppu tidak absolut dan tidak tak terbatas. Dengan kedua parameter tersebut kesimpulan yang disampaikan oleh Fadli Zon bahwa dalam menetapkan Perppu, presiden bertindak diktator tidaklah tepat karena tidak ada dasar dan faktanya. Dengan kata lain bahwa prosedur penetapan Perppu yang dilakukan oleh presiden masih berjalan dalam rel-rel demokrasi (SY).