Advertorial

Perppu Ormas Diharapkan Mampu Perkuat Ideologi Bangsa

Kompas.com - 17/10/2017, 13:01 WIB

Oleh: Direktur Eksekutif Institute For Peace and Security Studies Sri Yunanto

Pemikiran dan gerakan fundamentalisme, radikalisme, intoleransi dan kekerasan, baik itu secara fisik maupun verbal di Indonesia telah menghawatirkan banyak pihak, termasuk tokoh masyarakat. Istri Presiden RI keempat, Shinta Nuriyah Wahid, berpendapat  bahwa  saat ini gerakan kelompok intoleran dan radikal sudah menguasai pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Pendapat itu berdasarkan survey yang dilakukan oleh The Wahid Foundation.

Mereka menyebarkan kebencian secara masif, intensif dan berlanjut dengan berkedok agama.  Menurut mantan  Ibu negara ini, beberapa temuan dari survei Wahid Institute cukup menghawatirkan. Pertama, hanya belasan persen yang tidak setuju mengganti ideologi negara. Kedua, 59 persen memiliki kebencian terhadap non-Muslim dan Etnis lain. Ketiga, kelompok-kelompok radikal saat ini juga secara intens masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan.

Dikarenakan berbalut kegiatan agama, kebanyakan pengelola kampus tidak curiga. Wahid Foundation melaporkan hasil survei bahwa sedikitnya ada 11,5 juta orang yang berpotensi melakukan tindakan-tindakan radikal. Keempat, temuan survei yang dilakukan Pew Research Center pada 2015  menyebutkan  bahwa ada 10 juta warga Indonesia berpaham radikal.

Dengan temuan riset di atas, maka tidaklah heran kalau sebagian masyarakat menganggap Indonesia sudah memasuki darurat radikalisme bangsa. Indonesia tentu tidak menghendaki tragedi seperti negara-negara di Timur Tengah tersebut.  Radikalisme , fundamentalisme, intoleransi, dan kekerasan sosial atas nama apa pun, termasuk agama, bisa membawa bangsa Indonesia ke arah jurang perpecahan sebagaimana yang terjadi di belahan dunia lain, seperti Afghanistan, Irak, Suriah ,Tunisia, Yaman , Libya, dan juga Mesir.

Jika agama dijadikan senjata politik dan kekerasan terus diteriakkan, rasanya tinggal tunggu waktu Indonesia akan menjadi medan perang (dar-ul harb), seperti yang terjadi di Irak dan Suriah. Gerakan baru keberagamaan tidak lagi didominasi produk lokal, tetapi oleh wajah-wajah transnasional yang sebagian tidak sesuai dengan watak keberagamamaan bangsa Indonesia , tetapi sebagian lain membawa misi-misi politik separatis, fundamentalis, intoleran, ekslusif, bahkan menghalalkan kekerasan atas nama ideologi. Hal ini tertuang dalam buku karangan Shireen T. Hunter yang berjudul Politik Islam di Era Kebangkitan.

Untuk alasan apa pun, jangan biarkan dan jangan beri ruang kelompok radikal tumbuh dan berkembang. Negara tak boleh kalah. Pemerintah jangan menganggap sepele dan jangan sampai terlambat. Pemerintah harus serius dan tidak menganggap sepele atau tidak boleh terlambat. Salah menginterpretasikan atau  gagal mengantisipasi pergerakan kelompok radikal berjubah agama, risikonya terlalu mahal. Jika dibiarkan, menurut Shinta Nuriyah, gerakan radikal dan intoleran akan menjadi  ancaman yang nyata bagi keberagaman di NKRI.

Masalah yang dihadapi selama ini adalah dalam menyikapi gerakan radikal, pemerintah dan tokoh-tokoh politik nasional sebelum pemerintahan Jokowi-JK  terkesan ambigu. Di satu sisi, gencar meneriakkan slogan berbunyi ”NKRI harga mati”, tetapi di sisi lain selalu memberi ruang kepada kelompok radikal yang berwajah transnasional bebas mempertontonkan eksistensinya dengan mengusung sistem politik negara yang bertentangan dengan Pancasila seperti khilafah. Di lain pihak, kultur hukum negeri ini seakan sudah diacak-acak  oleh kaum intoleran yan mengusung aksi-aksi  kekerasan.

Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang memasuki usianya ke tahun ketiga sebenarnya sudah menyadari situasi dan kondisi yang telah disebutkan di atas. Visi dan misi Jokowi-Jusuf Kalla yang menjadi platform dalam pencalonan presiden pada 2014 menyebutkan bahwa bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada tiga masalah pokok.

Dua di antaranya adalah merosotnya kewibawaan negara, merebaknya aksi intoleransi, dan lunturnya kepribadian bangsa. Ancaman terhadap ideologi bangsa ditandai dengan munculnya primordialisme dan menguatnya nilai-nilai fundamentalisme yang mengancam persatuan bangsa, pemahaman konservatisme agama, dan kekerasan  berbasis agama ( Visi-Misi Jokowi-JK  hal 40).  

Ancaman terhadap wibawa negara terjadi ketika negara tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap  kedaulatan  wilayah dan lemah dalam menangani konflik sosial. Sementara itu, merebaknya intoleransi disebabkan oleh maraknya konflik sektarian.  Konflik ini  mengancam keragaman (kebhinekaan) dalam bentuk ekspresi kebencian, permusuhan, diskriminasi, dan tindakan kekerasan terhadap yang berbeda. Globalisasi yang menjanjikan kemajuan di berbagai bidang juga ditandai dengan penguatan-penguatan politik identitas yang mengancam ideologi bangsa.

Jokowi-JK, dalam Nawa Cita, memandang bahwa gerakan perubahan bangsa harus dipandu dengan sebuah idelogi yang kokoh sebagai penutun, bintang pengarah, pemersatu dalam perjuangan. Sejalan dengan garis ini, dalam mengatasi ancaman tersebut Jokowi-JK menawarkan sembilan agenda strategis yang disebut Nawa Cita. Dari sembilan agenda tersebut yang terkait dengan kehadiran negara dan perlindungan terhadap warga adalah  Nawa Cita poin 1, 8 dan 9. Nawa Cita poin 1 menyebutkan komitmen Jokowi-JK untuk menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman. Nawa Cita poin 8 mendorong pendidikan kewarganegaraan, seperti penguatan  patriotism, cinta tanah air, dan semangat bela negara. Nawa Cita poin 9 menekankan untuk memperteguh kebhinekaan.

Perlu Instrumen hukum yang kuat

Indonesia adalah negara demokrasi yang berlandaskan hukum (rule of law). Implementasi Nawa Cita untuk mengatasi masalah radikalisme, intoleransi, penguatan patriotisme, dan bela negara juga harus dilandaskan kepada kerangka hukum yang kuat. Masalahnya justru di sini. Pasangan Jokowi-JK yang terpilih mengusung janji-janji kepada rakyat untuk mengatasi persoalan ormas yang mengusung misi intoleran, radikal, tetapi mewarisi peraturan dan yang kurang mendukung, seperti Undang Undang  No. 17 tahun 2013 tentang Ormas yang dipandang tidak efektif, mempunyai prosedur yang panjang, berbelit-belit dengan sangsi yang tidak tegas dalam menindak ormas yang “nakal”.

Undang-undang tersebut sebenarnya mendesak untuk dilakukan perubahan, karena tidak  mengatur secara komprehensif tentang ormas yang bertentangan dengan Pancasila.  Pemerintahan  Jokowi-JK  memerlukan  instrumen  hukum yang kuat untuk mengatasi  ormas tersebut.

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 tahun 2017 tentang pengganti UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dimaksudkan untuk menutupi kekurangan dari UU No. 17 tahun 2013 tentang ormas. Penekananan dari Perppu ini adalah pelarangan terhadap ormas untuk melakukan tindakan permusuhan berbau SARA, penyalahgunaan, penistaan, penodaan terhadap agama, melakukan kekerasan, mengganggu ketentraman dan ketertiban umum atau merusak ketertiban umum, melakukan tindakan main hakim dan menganut, serta mengembangankan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Perppu ini mencantumkan dua jenis sangksi bagi ormas yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, yaitu sangsi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan pencabutan status badan hukum atau pembubaran, dan sangsi pidana bagi pengurus dan anggotanya.

Jelaslah bahwa kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam Perppu ini merupakan ancaman terhadap perdamaian, kesatuan, dan persatuan bangsa. Dengan ungkapan lain bahwa penetapan Perppu ini sebenarnya untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagaimana dicantumkan dalam bagian pertimbangannya (konsideran), bahwa  Perppu ini  menjadi instrumen negara  untuk melindungi kedaulatan NKRI. (SY)

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com