Advertorial

Indonesia Bisa Cegah Krisis Migas Dengan Langkah-langkah Ini

Kompas.com - 19/10/2017, 18:55 WIB

Dulu, Indonesia sempat memproduksi minyak di atas satu juta barrel per hari. Tak heran jika Indonesia sempat disebut sebagai negara yang kaya akan minyak dan gas.

Namun, hari ini faktanya berubah. Rupanya kini kesenjangan antara produksi dan konsumsi minyak bumi semakin besar. Ini menandakan, negara perlu berjaga-jaga dari kemungkinan adanya krisis migas di masa yang akan datang.

Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sampai pertengahan tahun 2017 produksi minyak Indonesia berada pada kisaran 804.000 barrel per hari. Sementara konsumsinya, menurut data BP Statistical Review 2017, jumlahnya mencapai angka 1.615.000 barrel minyak per hari. Artinya, sebagian kebutuhan minyak dalam negeri dipenuhi dari impor.

Bagaimana dengan gas bumi? Pasokan untuk kebutuhan domestiknya masih terbilang aman. Sampai pertengahan 2017, lifting minyak dan gas bumi Indonesia mencapai 6.338 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Hanya saja, lokasi lapangan gas umumnya jauh dari pusat industri yang menggunakan gas. Selain itu, Indonesia juga belum punya infrastruktur penerima gas, sehingga akibatnya tidak semua gas bisa terserap.

Yang perlu jadi catatan, pertumbuhan konsumsi gas dalam negeri terus naik dengan rata-rata 9 persen per tahun. Artinya, jika penambahan cadangan tidak lebih cepat dari pertumbuhan konsumsi, maka boleh jadi Indonesia bakal mengimpor gas di kemudian hari.

Sebenarnya penurunan cadangan migas disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya lapangan cadangan migas yang sudah tua, serta minimnya temuan cadangan migas baru. Menurut catatan SKK Migas, cadangan terbukti Indonesia per Januari 2016 adalah 3,3 miliar barrel untuk minyak dan 101,2 triliun kaki kubik untuk gas.

Dibandingkan tahun 2009, jumlah cadangan tersebut mengalami penurunan. Pada tahun tersebut jumlah cadangan minyak 4,3 miliar barrel dan gas bumi 107,3 triliun kaki kubik.

Kondisi ini perlu dihadapi dengan sigap. Pasalnya, migas masih mendominasi pasokan energi primer Indonesia dalam beberapa dekade mendatang. Kini 60 persen energi primer dipasok sektor migas. DEN memproyeksikan, porsi ini menjadi 47 pada 2025 dan 44 persen pada 2050. Lalu, langkah apa yang bisa dilakukan untuk menghindari krisis migas?

Membuat iklim investasi yang kondusif

Perusahaan migas cenderung mencari negara yang memiliki cadangan migas besar dan iklim investasi yang memudahkan. Kondisi yang kondusif ini sebetulnya perlu diciptakan oleh semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat umum.

Sejumlah negara, termasuk Indonesia, terus berupaya memperbaiki regulasi, khususnya di sektor fiskal. Perbaikan itu dimulai dari penyederhanaan perizinan dan menerapkan sistem gross split, yaitu bentuk kerja sama baru pengelolaan industri hulu migas yang lebih menguntungkan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan minat investor.

Memperbanyak eksplorasi

Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan untuk menemukan cadangan migas baru. Jika kegiatan ini tidak dilakukan, maka tak ada peningkatan produksi migas di Indonesia.

Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia perlu didorong untuk melakukan eksplorasi dengan target lapisan yang lebih dalam, termasuk menjangkau daerah-daerah terpencil, perairan laut dalam dan cekungan-cekungan lain yang berpotensi mengandung cadangan migas.

Namun, kegiatan eksplorasi yang masif sebenarnya bisa terjadi jika iklim investasi di Indonesia kompetitif. Oleh karena itu, investor membutuhkan kesederhanaan regulasi serta kemudahan mengakses geologi mengenai potensi migas di Indonesia. Data tersebut akan membantu mereka meminimalisasi risiko eksplorasi.

Produksi dan konsumsi yang bijaksana

Produksi perlu dilakukan melalui konservasi dan teknologi tepat guna. Konservasi artinya, cadangan migas yang ada di perut bimu tidak dikuras habis. Tujuannya, agar cadangan migas yang ada bisa digunakan untuk jangka panjang.

Penggunaan teknologi tepat guna artinya, penerapan teknologi yang tepat sasaran untuk meningkatkan produksi. Misalnya, peningkatan produksi dan cadangan melalui penerapan teknologi pengurasan minyak tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR).

Dari segi konsumsi, penggunaan bahan bakar berbasis migas harus dihemat. Sebab gap antara produksi dan konsumsi semakin melebar dari tahun ke tahun.

Diversifikasi energi

Istilah tersebut dapat diartikan sebagai upaya penganekaragaman energi. Contohnya, konversi minyak ke gas, atau penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT). Berdasarkan data DEN, pemanfaatan energi baru terbarukan pada tahun 2016 baru lima persen dari total pasokan energi. Jadi, perlu usaha lebih keras agar porsi EBT semakin bertambah. Harapannya, ketergantungan terhadap energi fosil, terutama minyak, harus dikurangi agar pengelolaan energi bisa berkelanjutan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com