Advertorial

Literasi Digital: Fenomena Googlization dan Berkurangnya Kemampuan Berpikir Kritis

Kompas.com - 28/10/2017, 10:19 WIB

Data Global Internet Traffic Forecast (Cisco, 2016) menyebutkan lalu lintas internet global nyaris akan mencapai 200 exabyte per bulan pada tahun 2020. Angka ini menunjukkan adanya pertumbuhan ketergantungan masyarakat pada komunikasi sekaligus menegaskan adanya kemajuan konektivitas yang berkualitas.

Sejauh mana kita mampu mengimbangi cepatnya kemajuan teknologi dan derasnya aliran informasi ini dan membekali diri dengan pengetahuan untuk memanfaatkan internet secara bijak dan bertanggung jawab?

Bangkitnya Fenomena Googlization

Besarnya peran teknologi kian terasa dalam memudahkan hidup. Informasi apa pun kini bisa ditemukan semudah bertanya pada ‘Mbah Google.’ Namun, ternyata di sisi lain, kemudahan ini juga berdampak pada kemampuan pengguna mengonsumsi informasi.

Inilah yang disebut fenomena ‘Googlization’, sebuah kondisi yang membuat seseorang sangat nyaman untuk menjelajah di dunia maya untuk mencari informasi. (Alice Lee, Literacies & Competencies Required to Participate in Knowledge Societies). Kondisi ini membuat pengguna yang selalu menggunakan mesin pencari mengalami cacat memori dan pada akhirnya sulit dan tak mampu lagi membaca artikel panjang dan mendalam.

Studi lain dari MindEdge Online Survey of Critical Thinking Skills menunjukkan generasi milennial kekurangan kemampuan berpikir kritis. Masalah ini menjadi sangat penting menginat 55 persen generasi milennial bergantung pada media sosial sebagai sumber berita, 51 persen sangat rajin membagikan konten dari media sosial ke lingkaran terdekatnya, dan 36 persen secara sengaja telah membagikan informasi yang tidak akurat.

Temuan ini konsisten dengan survei dari Universitas Stanford (Evaluating Information: The Cornerstone of Civic Online Reasoning) yang mendapati bahwa pelajar-pelajar di sekolah menengah hingga mahasiswa di perguruan tinggi tidak mampu membedakan bentuk berita, mana yang berupa artikel, iklan, atau tajuk opini.

Padahal, kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan di era digital. Patricia Greenfield, seorang profesor di bidang psikologi dan Direktur Digital Media Centre, Los Angeles menyatakan kemampuan analisis dan berpikir kritis kita kini telah menurun seiring meningkatnya peran teknologi di hidup kita (Stuart Wolpert, UCLA).

Serangan Konten Negatif

Akhir-akhir ini, marak beredar konten provokatif dari grup Saracen yang dilengkapi dengan teks panjang berisi berita palsu dan tidak akurat. Konten-konten ini disebarkan lewat ratusan ribu akun media sosial palsu secara masif. Meskipun kini grup tersebut telah diproses secara hukum, namun yang patut disoroti adalah cara mereka bekerja yang tidak disadari oleh warganet.

Dengan fitur berbagi yang sangat mudah, cukup dengan sekali klik, konten negatif bisa diunggah ulang dan mudah tersebar dalam waktu singkat, tanpa kesadaran untuk mengecek kebenaran isinya.

Inilah bahayanya. Pasalnya, informasi yang dibagikan secara berulang-ulang di media sosial, menjadi viral, kerap diterima sebagai informasi baru oleh pembacanya. Di negara yang berpenduduk multietnis, isu SARA yang diselipkan lewat berita palsu melesat bak peluru yang tak bisa dikendalikan.

Reputasi Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial paling aktif membuat setiap warganet harus makin waspada dalam mengonsumsi informasi.  Apalagi, ujaran kebencian seperti yang disebarkan oleh Saracen bisa memicu ketegangan pada kelompok-kelompok di masyarakat.

Apa Pun Beritanya, Cek Dulu!


Salah satu pekerjaan rumah kita bersama adalah membangkitkan kesadaran setiap individu untuk kembali berpikir kritis dalam menerima setiap informasi.

Gerakan Siberkreasi merupakan bagian dari komitmen bersama dari 52 lembaga dan komunitas untuk bersama-sama meningkatkan literasi digital di tanah air. Siberkreasi mengajak masyarakat, terutama  generasi milennial untuk berbagi konten positif dan untuk menggunakan internet secara bijak.

Berbeda dengan generasi X dan Y, para digital native, generasi millennial dan generasi Z merayakan konten positif dengan cara yang berbeda. Ini tampak dari kreasi video yang kental dengan semangat nasionalisme dari Cameo Project atau kanal YouTube ‘Kok Bisa?’ yang hadir dengan video edukatif bergaya humor untuk remaja. Di video terbarunya, ‘Kok Bisa?’ mengulas polemik isu pribumi dan nonpribumi yang sedang ramai dibicarakan. Tidak ayal, Video-video mereka menjadi viral karena hadir dengan konten positif yang berisi isu aktual, narasi menarik dan mudah dicerna.

Video bisa menjadi medium yang sangat efektif dalam menyebarkan konten positif dan menangkal konten negatif. “Asal niat membuat video itu bukan untuk mencari uang (monetizing), tapi untuk menginspirasi masyarakat,” ujar Yosi Mokalu, content creator dari Cameo Project pada deklarasi Gerakan Siberkreasi di Jakarta, awal Oktober lalu.

“Karena itulah, kami (Cameo Project) tidak keberatan jika video tersebut diunduh dari kanal YouTube @CameoProject dan disebarluaskan, seperti video KAMI INDONESIA yang banyak dibagikan di Facebook, chat group, di acara televisi dan acara-acara off-air,” tambah Yosi.

Salah satu video karya kolaborasi antara Siberkreasi dan Cameo Project, berjudul Cek Dulu, Awas Hoax! juga mengingatkan warganet untuk kembali berpikir kritis dan lebih cerdas dalam mengonsumsi informasi yang beredar di dunia maya dan bersama-sama memerangi peredaran berita palsu.

Cameo Project dan Gerald ‘Kok Bisa?’ juga akan berbagi lebih banyak tentang konten positif kreasi mereka di panggung utama Siberkreasi Netizen Fair bersama YouTuber lainnya. Anda dapat bergabung dalam perayaan konten positif ini Hall C, JIEXPO, Kemayoran, Jakarta Pusat hingga Sabtu, 28 Oktober 2017. Informasi lengkap jadwal dan pengisi acara, klik: www.siberkreasi.id/netizen-fair-2017.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com