Advertorial

Pasar Saham Asia Tetap Atraktif Berkat Struktur Fundamental yang Stabil

Kompas.com - 05/11/2017, 00:00 WIB

Kondisi makroekonomi global yang tengah membaik membawa sederet pengaruh bagi kinerja pasar saham di Asia. Bisa dibilang, pasar saham Asia masih lebih atraktif dibandingkan dengan performa pasar saham yang kapasitasnya setara di negara maju.

“Kecuali kalau ada guncangan eksternal, seperti meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea dan ancaman perang dagang,” kata Joanne Goh dan Jason Low, analis dari Chief Investment Office DBS, dalam laporan berjudul “4Q17 CIO Insight: Stay in the Game” yang dirilis 19 September 2017.

Terlebih, the Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunganya secara bertahap. Artinya, era suku bunga rendah masih akan berlanjut. Dengan demikian, imbal hasil investasi di Asia masih tinggi dan tak kalah menarik dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lain.

Pasar saham di Asia sendiri menawarkan imbal hasil dividen hingga 2,7 persen, atau 20 basis poin (bps) lebih tinggi dari rata-rata global. Struktur fundamental Asia pun dinilai kuat. Hal itu terlihat dari pertumbuhan dividen yang mencapai 231 persen sejak tahun 2002.

Bahkan, pada 2017 tingkat dividen diperkirakan tumbuh sebesar 17 persen. Pertumbuhan tersebut didukung oleh alokasi modal yang efisien dan tata kelola perusahaan yang semakin baik.

“Imbal hasil terus merangkak naik, ditambah pertumbuhan dividen di Asia yang kuat sejak 2002 memberi kesempatan investor untuk membeli saham di Asia dengan harga murah,” kata Jason Low.

Ditambah lagi, di negara-negara Asia ada keterkaitan kuat antara penduduk tua dengan pemintaan dividen yang meningkat. Di Tiongkok misalnya, jumlah penduduk berusia di atas 65 tahun mencapai 10 persen dari total populasi pada tahun 2016. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1960, yakni 3,7 persen.

Bagaimana dengan ASEAN? Negara-negara di ASEAN dianggap memiliki fondasi ekonomi yang cukup kokoh untuk menghadapi rencana kenaikan suku bunga the Fed. Sebab, tingkat inflasinya cukup rendah sehingga tidak perlu mengikuti kebijakan moneter AS dalam menaikkan suku bunga.

ASEAN justru melakukan pelonggaran moneter dengan memangkas suku bunga untuk mendorong investasi dan konsumsi masyarakat. Bank Indonesia misalnya, memangkas BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps dari 4,50 persen menjadi 4,25 persen pada September lalu.

Berkat nilai tukar rupiah yang stabil, peningkatan cadangan devisa, serta kebijakan moneter dan fiskal yang solid, pasar obligasi di Indonesia pun jadi semakin atraktif. Dampaknya, Indonesia mendapat peringkat layak investasi dari S&P.

“Ini mengurangi kemungkinan larinya arus modal ke luar negeri dalam jangka panjang manakala terjadi kenaikan suku bunga AS,” kata Jason Low dan Joanne Goh.

Neraca transaksi berjalan negara ASEAN juga terbilang masih positif. Contohnya, ekspor Thailand dan Malaysia tercatat mengalami surplus. Di Filipina, meski kurs peso melemah, tetapi tingginya remitansi dari luar negeri membuat neraca transaksi berjalan tetap positif.

Dengan kata lain, yang terjadi di ASEAN lebih banyak uang masuk daripada yang keluar. Pasar saham ASEAN relatif terlindung dari aksi ambil untung (profit-taking). Kondisi likuiditasnya pun jauh lebih baik dibandingkan saat terjadinya krisis finansial Asia tahun 1997 dan krisis finansial global tahun 2008.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com