Advertorial

Tak Sekedar Logo dan Produk, Merek bisa Jadi Perekat dengan Konsumen

Kompas.com - 29/11/2017, 11:30 WIB

Sadar atau tidak, konsumsi sehari-hari masyarakat identik dengan merek atau brand. Hampir seluruh kebutuhan masyarakat dibeli dengan mengacu kepada merek produknya. Namun, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan merek?

Inilah yang dibahas oleh Subiakto Priosoedarsono, pakar branding Indonesia dalam Business Scale-Up E-Commerce Workshop yang digelar oleh BCA di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Senin (20/11/2017) lalu. Menurut Subiakto, brand adalah ikatan emosi antara sebuah produk dengan konsumennya.

Brand adalah ikatan emosi. Brand bukan apa yang dikatakan oleh Anda tentang diri Anda, tetapi apa yang dikatakan publik tentang Anda. Kepercayaannya dibangun oleh experience. Brand itu cinta pada gigitan pertama dan membuat pengguna brand menjadi siapa?” tutur Subiakto.

Kesalahan umum yang sering kali dilakukan pemilik produk adalah tidak memikirkan secara matang brand dari produknya. Tak jarang pemilik brand justru menyerahkan proses ini sepenuhnya pada perusahaan advertising. Sangat disayangkan, karena justru sang pemilik yang paling memahami produk tersebut. Keberadaan perusahaan advertising hanyalah untuk membantu mengimplementasikan pemikiran dari pemiliknya.

Menurut Subiakto, brand bisa menjadi intangible asset yang nilainya melebihi aset fisik di masa depan. Hal itu telah terjadi pada perusahaan rintisan transportasi berbasis digital karya anak bangsa, Go-Jek. Saat ini Go-Jek dilansir memiliki intangible asset senilai Rp 17 triliun, padahal tak satu pun aset berupa kendaraan bermotor dimiliki oleh perusahaan ini.

Ia pun membagikan pengalamannya membangun brand Kopiko saat pertama kali akan diluncurkan. Hal yang pertama dilakukannya adalah menentukan brand DNA Kopiko, apakah sebagai permen atau kopi.

"Bila memilih permen sebagai DNA, artinya Kopiko masuk ke dalam pasar permen. Dimakan oleh anak-anak dan yang membeli adalah ibunya. Sayangnya, seorang ibu tentu tidak mau anaknya memakan banyak permen dan penjualan Kopiko akan menjadi sedikit," tuturnya.

Sebaliknya, brand DNA Kopiko sebagai kopi akan menempatkannya untuk bersaing dengan jajaran produk kopi yang setiap hari dinikmati oleh konsumen dewasa.

Brand DNA ini pun akhirnya dipilih dan dikembangkan dengan menambahkan core value sebagai obat ngantuk, added value berupa bentuknya yang praktis, sehingga timbul positioning Kopiko sebagai permen kopi obat ngantuk yang bisa menggantikan minuman kopi.

Konsep ini pun disederhanakan lagi ke dalam tagline “Kopiko, Gantinya Ngopi” yang sukses menempel di benak masyarakat.

Ia pun berpesan, membangun produk tak boleh dilakukan asal-asalan. Setiap pilihan harus dianalisa terlebih dahulu. Brand bukan hanya menjadi sebuah produk yang dijual, namun juga menyimpan cerita yang bis berkesan di hati konsumennya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com