Advertorial

Chevron Rangkul Anak Muda untuk Lawan Stigma HIV dan AIDS

Kompas.com - 15/12/2017, 14:21 WIB

Meluruskan sebuah stigma di tengah masyarakat merupakan pekerjaan yang sukar. Perubahan yang diharapkan tidak bisa terjadi dalam waktu semalam. Oleh sebab itu, diperlukan adanya program yang berkelanjutan dan konsisten dilaksanakan.

Begitu pula halnya mengenai stigma HIV/AIDS di Indonesia. Seringkali, orang yang terdampak HIVdan AIDS jadi korban prasangka-prasangka buruk dari masyarakat. Padahal apa yang harus dilawan adalah virusnya, bukan individu.

Stigma buruk terhadap individu yang terjangkit HIV dan AIDS tak bisa dianggap sebagai hal sepele. Pasalnya, stigma tersebut membuat mereka yang mungkin terdampak HIV/AIDS, baik secara langsung atau tidak langsung, khawatir untuk melakukan tes HIV dan AIDS karena takut dikucilkan dan mendapat perlakukan diskriminasi. Hal itu tentunya menghambat langkah-langkah pencegahan.

Melihat hal ini, Chevron, sebagai perusahaan yang sadar bahwa masyarakat adalah bagian dari organisasi, terus konsisten untuk mengampanyekan kesadaran HIV dan AIDS dari tahun ke tahun. Bahkan, Chevron telah memiliki kebijakan perusahaan, khusus berkaitan dengan HIV dan AIDS. “Kebijakan tersebut di antaranya mengatur penyediaan lingkungan kerja yang kondusif dan non-diskriminatif, dukungan kemaslahatan kesehatan karyawan dan keluarganya yang juga ODHA (orang dengan HIV dan AIDS) , jaminan kerahasiaan status mereka dan tidak ada tes HIV dan AIDS yang dilakukan pada pemeriksaan kesehatan bagi calon karyawan saat proses perekrutan,” kata dr. Iwan Susilo Joko, MKK., Chief Medical Officer Health & Medical Jakarta, Chevron Indonesia.

“Selama lebih dari 30 tahun, Chevron telah menjadi perusahaan terdepan yang melawan HIV dan AIDS. Dan kami terus mengupayakan pelibatan masyarakat di seluruh dunia, melalui edukasi kesadaran HIV dan AIDS, upaya pencegahan dan pengelolaan HIV dan AIDS. Kami melakukan kampanye kesadaran HIV dan AIDS untuk masyarakat, khususnya kalangan usia produktif, di daerah operasi kami, seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Jakarta,” kata Pinto Budi Bowo Laksono, Manager Social Performance Chevron.

 Acara “Muda Peduli HIV” di kampus Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten, Rabu (13/12/17).

Hal tersebut ia katakan ketika membuka acara “Muda Peduli HIV” di kampus Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten, Rabu (13/12/17). Pinto berharap bahwa pemuda bisa menjadi agent of change dari stigma HIV/AIDS di Indonesia. Dengan semangat dan kepekaan sosial yang tinggi, para pemuda diharapkan dapat meluruskan pandangan-pandangan yang salah mengenai HIV dan AIDS di tengah masyarakat.

Pada acara tersebut, hadir pula Natasya Sitorus dari Lentera Pelangi. Organisasi tersebut dibuat sebagai program pendampingan anak yang terdampak HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Saat ini, Lentera Pelangi tengah mendampingi 96 anak yang berusia dari 1 sampai 17 tahun.

“Jika HIV dan AIDS digunakan sebagai indikator untuk menilai seseorang, lalu bagaimana dengan ibu rumah tangga dan anak-anak yang terkena HIV danAIDS padahal mereka mendapatkan HIV dan AIDS tanpa melakukan kesalahan sama sekali dengan hidupnya? Kita harus membuang anggapan bahwa ODHA adalah aib atau kutukan,” kata Natasya.

Natasya melanjutkan bahwa ODHA seharusnya memiliki perlakuan dan hak yang sama dengan manusia normal. Status penyakit ini sama dengan status penyakit lainnya seperti jantung, diabetes, atau ginjal. Diskriminasi terhadap ODHA terjadi karena kurangnya informasi yang tepat mengenai penularan dan pencegahan dalam masyarakat.

“Ada empat hal yang bisa dipastikan mengenai penularan yakni melalui hubungan seks, tranfusi darah, jarum suntik, dan air susu ibu. Isu lain di luar itu adalah kebohongan,” kata Natasya.

Seperti kanker, ternyata HIV pun memiliki empat stadium. Pada fase pertama, seseorang terinfeksi tetapi tidak terkena gejalanya. Fase ini biasanya terjadi dalam periode waktu yang lama sekitar 8-12 tahun.

Masuk ke fase kedua, daya tahan tubuh mulai turun. Orang tersebut akan mudah sakit. Di stadium ketiga, telah muncul gejala-gejala infeksi primer. Stadium empat atau disebut sebagai stadium AIDS gejala sudah muncul secara fisik yakni dengan pembesaran kelenjar limfa.

dr. Iwan mengatakan bahwa jika seseorang mengetahui status HIV sejak dini dan ditangani dengan berkelanjutan, ODHA tersebut dapat memelihara hidupnya dengan baik, layaknya manusia sehat. Obat- obat antiretroviral, yang dapat memperlambat pertumbuhan virus HIV, pun sudah disediakan secara gratis oleh pemerintah. Sehingga, yang diperlukan saat ini adalah keberanian para ODHA untuk secara terbuka memberitahukan kondisi dan menyampaikan keluhan kesehatan mereka kepada dokter.

Menutup acara, Natasya menyarankan bagi para ODHA untuk secara aktif mencari komunitas atau lingkungan sebaya untuk berbagi cerita dan saling menguatkan satu sama lain. Hal ini, menurutnya,  dapat meringankan tekanan batin dan sosial ataupun stigma yang mungkin dialami oleh ODHA. 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com