Advertorial

Harga Minyak Dunia Naik, Ekonomi Indonesia di 2018 Lebih Menantang

Kompas.com - 26/12/2017, 21:42 WIB

Selama dua tahun terakhir harga minyak dunia terus menurun. Bahkan, harga sempat tersungkur hingga 30 dollar AS per barrel pada awal 2016 lalu. Sebelum anjlok harga minyak dunia berada di kisaran 100 dollar AS per barrel. 

Namun kini, secara perlahan harga minyak dunia terus merangkak naik dalam satu tahun terakhir. Saat ini harga minyak mentah menurut standar WTI Crude Oil berada pada kisaran 57 dollar AS per barrel. 

Perbaikan harga minyak dunia diperoleh berkat adanya kesepakatan dari negara-negara penghasil minyak untuk memangkas produksi dan ekspor sebesar 1,8 juta barrel per hari. Pemangkasan produksi dan ekspor dimulai pada November 2016 dan diperkirakan masih akan berlanjut hingga kuartal pertama tahun depan. 

Harga minyak dunia yang mengalami pemulihan memberi angin segar bagi negara-negara produsen minyak dan tentunya pelaku industri migas di tanah air. Namun sebenarnya, bagi Indonesia yang selama beberapa tahun terakhir menjadi negara net importir, kenaikan harga minyak dunia akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

Harga minyak pada 2018 diperkirakan akan terus meningkat karena selain pemangkasan yang dilakukan oleh negara-negara produsen minyak, permintaan juga bertambah. Saat ini konsumsi minyak di Amerika Serikat, Eropa, China, dan India juga meningkat. 

Tim ekonom DBS, Suvro Sarkar, Pei Hwa Ho, Glenn Ng, William Simadiputra, dan Janice Chua menyebut dalam laporan DBS Group Research Regional Industry Focus yang bertajuk Regional Industry Focus: Oil and Gas, yang dirilis November 2017 lalu bahwa konsumsi minyak mentah dunia akan tumbuh 1,4-1,5 juta bpd di 2017 hingga 2018. 

Menurut tim riset DBS, dengan memperhitungkan kenaikan permintaan minyak mentah pada 2017, maka tahun depan harga minyak dunia diperkirakan terkerek ke posisi 60 dollar AS hingga 65 dollar AS per barrel. 

Kenaikan harga minyak dunia akan secara otomatis memicu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tanah air. Harga barang pokok pun akan ikut meningkat karena biaya produksi akan ikut menjadi mahal. Meskipun bisa saja pemerintah Indonesia tidak menaikkan harga bahan bakar untuk menjaga biaya operasional. Tapi, kebijakan untuk mempertahankan harga BBM harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran untuk subsidi. 

Efek domino ini akan berujung pada tingginya inflasi. Berdasarkan Consumer Price Index (CPI), indikator penghitungan tingkat inflasi di suatu negara, sektor transportasi dan listrik menjadi kontributor terbesar dalam menentukan di Indonesia. Keduanya berkontribusi 25 persen dari seluruh kategori CPI yang ada. 

Oleh sebab itu, DBS memprediksi tiap 10 persen kenaikan harga minyak mentah dunia, akan berdampak terhadap peningkatan inflasi sebesar 0,6. Kondisi ini akan menjadi tantangan untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing untuk menarik investor. Inflasi merupakan elemen penting yang mempengaruhi rating investasi sebuah negara. 

Lebih lanjut, dalam hal pemberian subsidi untuk mempertahankan harga BBM dan menekan inflasi, pemerintah harus melalui pertimbangan yang matang, tidak hanyaterkait dengan ketersediaan anggaran, tetapi juga dampaknya bagi upaya pengembangan energi terbarukan. 

Namun, di tengah tantangan tersebut masih ada hal positif yang bisa diambil. Tim riset DBS menyatakan peningkatan harga minyak mentah akan berdampak positif terhadap anggaran pemerintah Indonesia. Pendapatan pajak dan non pajak dari sektor migas yang diperkirakan Rp 113 triliun masih 10 persen lebih tinggi dibanding subsidi energi 2018.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com