Perubahan zaman menjadi momok menakutkan bagi mereka yang tidak siap beradaptasi. Betapa tidak, teknologi yang berkembang akan mengubah berbagai hal. Mulai dari perilaku manusia, kemampuan yang dibutuhkan, bahkan sampai industri dan pasar itu sendiri susunannya bisa berubah.
Seperti yang terjadi kemarin, kemajuan teknologi komunikasi yang mengubah perilaku konsumen dampaknya mengubah wajah industri transportasi. Pengguna transportasi ramai-ramai beralih menggunakan jasa transportasi online yang dipesan melalui telepon selulernya. Bagi penyedia jasa transportasi, disrupsi ini tentu saja menjadi pil pahit apabila mereka tidak siap beradaptasi.
Hal yang sama juga terjadi pada dengan industri ritel. Kehadiran pusat perbelanjaan modern atau yang biasa dikenal dengan sebutan mal, memberikan kenyamanan dengan pendingin udara dan wangi semerbak kepada pengunjungnya. Kondisi yang bisa ditemukan di mal ini tentunya sulit ditemui pada pasar tradisional yang lekat dengan kesan bau atau kumuh.
Akibatnya, tren belanja masyarakat pun ikut bergeser. Jika dahulu pasar tradisional masih menjadi tempat favorit berbelanja, maka kini pesonanya mulai luntur.
Hasil survei Litbang Kompas pada 22-25 Mei 2017 terhadap 448 responden di Jabodetabek memotret faktor penyebab gemarnya masyarakat berbelanja di mal. Sebanyak 54,9 persen responden menyebutkan alasan berbelanja di mal karena dapat melihat barang secara langsung. Selain itu, sebesar 22,5 persen hobi ke mal untuk refreshing dan sisanya menjawab berbelanja di mal karena bisa mendapatkan diskon.
Apabila peritel tradisional tidak siap beradaptasi dan berbenah diri dengan kondisi ini, lambat laun mereka akan mati. Karena itu pilihannya adalah berevolusi atau mati. Jika tak mau memperbaiki kualitas layanan, pil pahit gulung tikar mesti diteguk karena karam oleh geliat ritel modern.
Lantas bagaimana kiat bagi peritel tradisional untuk memoles dirinya agar tak kalah saing?
Masalah ini menjadi perhatian Sampoerna. Sampoerna memerikan wadah berupa pelatihan kepada peritel tradisional agar dapat mendongkrak usahanya sekaligus menambah jumlah pelanggan.
Melalui kemitraan strategis dengan Sampoerna Retail Community (SRC), para peritel tradisional bakal diberi bimbingan agar dapat berubah mengikuti dinamika pasar. Mereka juga mendapatkan sejumlah masukan dari praktisi andal di bidang ritel dan pemasaran Tanah Air.
Yang perlu juga disadari, berkumpul dalam komunitas tentunya akan menumbuhkan optimisme bersama. Bagaikan filosofi sapu lidi, yang mana akan sangat mudah patah bila satu batang lidi berdiri sendiri. Namun, berbeda bila diikat menjadi satu, maka batang-batang lidi akan menjadi kesatuan sapu yang kokoh.
Hingga kini, jumlah peritel tradisional yang bergabung dalam SRC telah mencapai angka ribuan. Mereka terlibat aktif dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat. Ke depannya, program yang meluncur sejak 2008 itu juga akan terus disempurnakan.
Jadi, memilih evolusi atau mati? Sejatinya kita bisa berubah bersama-sama.