Advertorial

Tren Pemulihan Sektor Batubara Global

Kompas.com - 29/01/2018, 11:44 WIB

Tahun 2018 akan menjadi permulaan yang baik bagi sektor batubara Indonesia. Pendapatan produsen batubara diperkirakan tumbuh antara 11 hingga 15 persen, didorong oleh kenaikan harga batubara global.

DBS Group Research memprediksi harga batubara akan naik dari 65 dollar AS menjadi 75 dollar AS per ton. Level harga ini diperkirakan bertahan mulai tahun ini hingga 2024, lalu sedikit turun ke 70 dollar AS per ton pada 2025.

“Selain karena pengaruh kondisi cuaca, kami melihat adanya perubahan struktur pasokan global dalam tiga tahun terakhir,” papar analis DBS William Simadiputra dalam laporan berjudul Indonesia Industry Focus: Thermal Coal Sector – The Current Rally Has Legs yang dirilis 19 Januari 2018.

Menurutnya, kenaikan terutama didorong oleh rendahnya pasokan batubara global seiring pengurangan produksi yang dilakukan beberapa tahun terakhir. Efisiensi produksi akibat kampanye pengurangan polusi udara di Eropa ini berisiko menguras cadangan batubara dalam jangka panjang.

Selain itu, meningkatnya permintaan untuk fasilitas pembangkit listrik di ASEAN turut mendongkrak kenaikan harga batubara. DBS Group Research memprediksi ASEAN akan menjadi pengimbang di tengah rendahnya permintaan batubara global. Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), permintaan batubara ASEAN akan meningkat 100 juta ton hingga 2020 dibandingkan sebelumnya.

Bagi produsen Indonesia, kenaikan harga batubara akan berdampak positif. Menurut William Simadiputra, pendapatan perusahaan-perusahaan batubara akan terdongkrak karena harga rata-rata penjualan yang lebih tinggi. Ini akan menutupi naiknya biaya operasional yang disebabkan kenaikan harga minyak mentah pada 2018. “Diperkirakan pendapatan tumbuh 11-15 persen,” ujarnya.

Kegiatan investasi di sektor ini pun akan tumbuh positif, di tengah target ekspansi yang masih rendah. Apalagi industri batubara Indonesia cenderung masih dalam kondisi defensif, mengingat belum banyak perubahan signifikan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi. Ini yang menyebabkan produsen ragu-ragu untuk meningkatkan operasionalnya lebih agresif.

Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di Tiongkok. Demi memulihkan sektor batubara, produsen di sana melakukan konsolidasi struktural melalui merger dan akuisisi untuk menjaga produksi di level 1 miliar ton.

Selain memudahkan pengawasan, konsolidasi juga untuk mencegah anjloknya harga batubara yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan industri ini. Sebagai penghasil batubara terbesar, Tiongkok menyumbang 46 persen terhadap pasokan batubara global, dengan total 3,6 miliar ton di 2016.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com