Advertorial

Kurangi Ketergantungan Obat Impor, Fonko Produksi Obat Kanker Limfoma dengan Harga Terjangkau

Kompas.com - 01/02/2018, 10:34 WIB

Rencana pemerintah untuk memangkas 20 persen nilai ketergantungan impor obat yang mencapai lebih dari Rp 11 Triliun pada 2016 ditanggapi oleh salah satu produsen farmasi nasional. PT Fonko International Pharmaceuticals yang merupakan bagian dari Dexa Group memproduksi obat kanker untuk pasien lymphoma melalui kandungan zat aktif bendamustine yang selama ini hanya bisa diperoleh di negara Eropa seperti Jerman.

PT Fonko diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi pada 23 September 2014 di Cikarang, Jawa Barat. Fonko merupakan pabrik produksi obat-obatan onkologi yang dibangun tidak hanya dengan standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari BPOM RI, namun juga dengan standar Good Manufacturing Product (GMP) dari Eropa sehingga produk yang dihasilkan siap untuk memenuhi kebutuhan ekspor.

CEO Dexa Group Ferry Soetikno, saat acara Rudy Soetikno Memorial Lecture di Titan Center pada hari Sabtu 27 Januari 2018 mengungkapkan,”Pendirian Fonko pada kala itu adalah impian sang pendiri yakni Bapak Rudy Soetikno agar obat-obatan onkologi tersedia bagi masyarakat Indonesia dengan harga yang lebih terjangkau.”

Salah satu produk onkologi yang dihasilkan oleh Fonko adalah bendamustine. Melalui produk Fonkomustin yang dipasarkan oleh PT Ferron Par Pharmaceuticals, bendamustine adalah obat antitumor yang efektif digunakan bagi pasien limfoma non Hodgkin sel B.

Obat ini tersedia dalam dua dosis yakni bendamustine HCl 25 mg dan bendamustine HCl 100 mg. Saat ini sediaan tersebut sedang dalam proses Formularium Nasional (Fornas)—sebagai rekomendasi RS Kanker Dharmais untuk bisa masuk dalam katalog Fornas tahun 2018.

Bendamustine yang dikembangkan sejak tahun 2014 ini merupakan obat yang dapat digunakan oleh pasien dengan tiga indikasi, yakni chronic lymphocytic leukemia / CLL (stadium Binet B atau C) pada pasien yang tidak sesuai dengan kemoterapi kombinasi fludarabine dan Non-Hodgkin Lymphoma (NHL) di mana pasien dengan indolent non-Hodgkin lymphoma yang mengalami peningkatan setelah pengobatan menggunakan regimen yang mengandung rituximab.

Acara jumpa pers Rudy Soetikno Memorial Lecture. Dari kiri-kanan : Head of Corporate Communication Dexa Group Sonny Himawan, Peneliti Klinis Bendamustine Prof. Mathias Rummel, perwakilan PERHOMPEDIN Dr. dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD-KHOM, onkologist dari Jerman Dr. Lothar Boning, dan Direktur Utama PT Ferron Par Pharmaceuticals Krestijanto Pandji, di Titan Center, Bintaro, Sabtu, 27 Januari 2018. Acara jumpa pers Rudy Soetikno Memorial Lecture. Dari kiri-kanan : Head of Corporate Communication Dexa Group Sonny Himawan, Peneliti Klinis Bendamustine Prof. Mathias Rummel, perwakilan PERHOMPEDIN Dr. dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD-KHOM, onkologist dari Jerman Dr. Lothar Boning, dan Direktur Utama PT Ferron Par Pharmaceuticals Krestijanto Pandji, di Titan Center, Bintaro, Sabtu, 27 Januari 2018.

Sementara indikasi terakhir adalah pasien dengan multiple myeloma/MM (Durie-Salmon stadium II dengan peningkatan atau stadium III) setelah gagal pada pengobatan utama pada kombinasi menggunakan prednisone untuk pasien usia lebih dari 65 tahun yang tidak memenuhi syarat untuk transplantasi stem cell autolog dan pada waktu diagnosis memiliki neuropati klinik sebelum menggunakan obat dengan kandungan thalidomide atau bortezomib.

Presiden Direktur PT Ferron Par Pharmaceuticals Krestijanto Pandji mengatakan,”bendamustine dibuat di dalam negeri, dikerjakan di pabrik Fonko. Pabrik produk injectable yang berstandar European, di mana standarnya sama dengan obat-obat yang digunakan di luar negeri.”

Langkah dan strategi tersebut menurut Krestijanto memiliki efek mengurangi potensi keluarnya devisa negara. Lebih dari itu, produk dari bendamustine ini terjangkau oleh masyarakat di Indonesia. “Karena visi misi kita bukan hanya komersial tapi bagaimana produk ini bisa membantu masyarakat Indonesia untuk mendapatkan quality of life yg lebih baik,” tegas Krestijanto.

Menurut Mathias Rummel selaku peneliti klinis bendamustine sekaligus Head Department for Hematology Hospital of the Justus-Liebid University, Giessen, Jerman, bendamustine yang dikombinasikan dengan rituximab menjadi alternatif pengobatan terbaik bagi penderita lymphoma. Hal ini dikarenakan tidak adanya kontraindikasi, meningkatkan waktu pengobatan berikutnya (TTNT), dan mengurangi keganasan sekunder.

“Jika ditilik dari dari keberlangsungan hidup pasien lymphoma, angka kematian pasien yang menggunakan perawatan bendamustine dan rituximab ternyata lebih sedikit jika dibandingkan dengan angka kematian pasien lymphoma yang menggunakan perawatan CHOP-R,” tambah Rummel.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com