Advertorial

Pemerintah Siapkan Langkah Diplomasi Perjuangkan Sawit Indonesia

Kompas.com - 18/05/2018, 04:42 WIB

JAKARTA- Rencana Parlemen Eropa menghilangkan kelapa sawit sebagai bahan biofuel di Eropa pada tahun 2025 mendatang mendapatkan reaksi keras dari Indonesia. Beragam upaya diplomasi dilakukan pemerintah. Bahkan, untuk memperjuangkan nasib sawit di tengah diskriminasi Parlemen Eropa ini, Kemenko kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan kini tengah berada di Vatican untuk berbicara dalam seminar mengenai fakta dibalik industri sawit Indonesia di hadapan Paus serta perwakilan negara-negara Eropa pada tanggal 15 Mei 2018.

Sebelumnya, dalam sambutan kunci pada seminar bertajuk “Menjawab Hambatan Perdagangan Ekspor Minyak Sawit di Pasar Global” yang diadakan Harian Kompas dengan CPOPC di Hotel Borobudur Jakarta pada Selasa pekan lalu, Luhut menegaskan sikap Parlemen Eropa tersebut jelas-jelas merupakan diskriminasi terhadap minyak sawit. Luhut menilai, sikap keras pemerintah ini harus dilakukan mengingat 27 juta penduduk Indonesia  menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Bahwa ekspansi kelapa sawit menyebabkan deforestasi dinilai kurang tepat mengingat masa hidup pohon kelapa sawit lebih panjang dibandingkan jenis tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Kami tidak akan membiarkan hutan Indonesia rusak karena kami akan menjadi korban pertama jika itu terjadi, bukan Anda yang jauh di Eropa sana,” ujar Luhut pada, Selasa (8/5/2018).

Senada dengan Menko Kemaritiman, sikap keras pemerintah menolak diskriminasi kelapa sawit yang dilakukan oleh Parlemen Eropa juga disampaikan oleh staf  Khusus Menteri Perdagangan Lili Yan Ing. Lili menyatakan pemerintah telah melayangkan surat kepada Komisi UE bahwa mengeluarkan minyak sawit dari bahan bakar biofuel tidak akan menjawab isu deforestasi. Karena isu deforestasi tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan industri kelapa sawit.

“Indonesia akan berpegang teguh pada non-discriminative, fair, equitable treatment. Oleh karena itu, kami menolak bila terdapat diskriminasi. Bila produk kami didiskriminasi maka segala langkah akan kami tempuh untuk memperjuangkan hak kami,” ungkap Lili.

Langkah-langkah diplomasi pemerintah terhadap perdagangan dan ekspor sawit disambut baik Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono. Diplomasi ekonomi ini diharapkan menjadi langkah konkret untuk mengatasi berbagai hambatan perdagangan yang dialami oleh pengusaha. Lebih jauh, Joko menganjurkan agar dilakukan intensifikasi perjanjian dagang bilateral agar Indonesia memiliki bargaining power yang lebih tinggi.

“Ke negara manapun kita pergi, selalu ada hambatan perdagangan yang bervariasi. Perlu ada strategi nasional. Perlu penguatan hubungan dengan negara tujuan ekspor melalui perjanjian bilateral sehingga akan terjadi equality,” tutur Joko.

Sementara itu, Perwakilan EEAS (European External Action Service) Jakarta Bucki Michael menyatakan bahwa resolusi tersebut masih dalam tahap pembahasan dan hingga saat ini belum ada kebijakan mengenai kelapa sawit di Uni Eropa. Menanggapi  pernyataan Bucki, banyak pihak tetap menyayangkan akibat dari pernyataan Parlemen Eropa yang sudah terlanjur memunculkan beragam isu negatif yang mendeskreditkan komoditas strategis nasional ini.

Seminar yang diadakan Harian Kompas bersama CPOPC pekan lalu juga menghadirkan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Banjarmasin Amin Nugroho, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta, Pengamat Internasional Dinna Wisnu, dan Direktur Eksekutif EuroCham Samuel Siahaan.

Senada dengan para pembicara sebelumnya, diplomasi merupakan faktor penting untuk mempertahankan posisi Indonesia dalam perdagangan sawit. Diperlukan fakta, data, dan bukti bahwa kelapa sawit merupakan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com