Advertorial

Cerita Carolina tentang Petualangannya Nyaris Taklukkan Tujuh Puncak Dunia

Kompas.com - 15/08/2018, 16:19 WIB

Namanya Dian Indah Carolina, atau akrab disapa Caro oleh orang terdekatnya. Dari luar, mungkin tak ada yang menyangka bahwa dara manis asal kota kembang ini pernah berdiri di puncak gunung tertinggi di Indonesia. Caro adalah salah satu anggota tim The Women of indonesia’s Seven Summit Expedition (Wissemu). Tahun 2014 lalu, ia berhasil menaklukkan puncak gunung tertinggi di tanah air, Carstensz Pyramid.

Kecintaannya terhadap kegiatan alam ini bermula sejak ia lulus SMA dengan mencoba camping dan naik gunung Papandayan serta Ciremai. Melanjutkan hobinya, alumnus jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan (Unpar) ini menjadi anggota Mahasiswa Parahyangan Pencinta Alam Universitas Katolik Parahyangan (Mahitala). Di wadah inilah ia mencoba berbagai kegiatan alam lainnya.

“Ada banyak kegiatannya, seperti rafting, caving, climbing, dan lainnya,” tuturnya.

-- -

Gunung Carstensz (4.884 mdpl) adalah pendakian gunung tinggi pertama Caro. Saat itu, ia merasakan harga yang mahal untuk sebuah pendakian, baik secara materi maupun non materi. Menurutnya, Carstensz adalah salah satu pendakian yang pembiayaannya paling tinggi karena minimnya pengelolaan dan faktor lokasi yang berada di lingkungan PT Freeport Indonesia. Di pendakian yang sama pula, ia merasakan acute mountain sickness (AMS) untuk pertama kalinya.

“Kita beregu ada 10 orang. Itu pertama kalinya aku naik gunung yang tinggi banget di Indonesia. Rasanya pusing banget. Oh, ini rasanya penyakit ketinggian. Itu yang harus dihadapi,” kenangnya.

Rasa sakit itu tidak lantas menghentikan langkahnya untuk menaklukkan puncak gunung lain di dunia. Bersama tim Wissemu, ia berhasil mencapai puncak Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania, dan puncak Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia.

Meskipun demikian, ia pun pernah merasakan gagal mencapai puncak pendakian, yakni saat mendaki puncak Gunung Aconcagua (6.962 mdpl). Kala itu, Caro terserang AMS di tengah pendakiannya.

“Awalnya pusing, mual, mulai gak nafsu makan. Mereka lanjut naik dan aku turun lagi ke camp dibantu tim dan porter,” kisahnya.

Kondisi fisiknya semakin menurun saat tiba di camp. Beruntung, di sana terdapat fasilitas medis yang mumpuni. Caro dilarikan ke rumah sakit menggunakan helikopter dan terbaring tak sadar di unit gawat darurat selama dua hari.

Insiden di Aconcagua telah memupuskan harapannya untuk menginjakkan kaki di puncak gunung tertinggi di dunia bersama timnya. Namun, hal itu tidak menghentikannya untuk terus mendukung Wissemu. Caro tetap menjadi bagian dari pendakian dengan menjadi angota tim humas Tim Support Wissemu. Tim Support berperan untuk mengurus kebutuhan para pendaki agar perjalanan berlangsung aman.

“Waktu sampe ke puncak Everest, pengen nangis. Aku juga pernah merasakan jadi tim pendaki, dan Tim Support-nya  juga sama susahnya seperti tim pendaki,” ujarnya.

-- -

Kini, Caro telah menyelesaikan studinya di Unpar. Menjadi anggota Mahitala diakuinya sebagai salah satu faktor yang membuatnya menaruh perhatian terhadap alam dan isu lingkungan. Ke depannya, ia pun berharap bisa berkontribusi di bidang lingkungan, baik menjadi bagian dari pemerintahan maupun organisasi non pemerintah (NGO).

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com