Advertorial

Andi Boediman : Pemasaran Sebagai Faktor Sukses Sebuah Film

Kompas.com - 21/08/2018, 23:43 WIB

Pada 2011, Andi Surja Boediman mendirikan Ideosource Venture Capital dengan dana kelolaan mencapai 15 juta dolar Amerika. Awalnya, perusahaan ini menginvestasikan uangnya di start-up teknologi. Tercatat ada 27 perusahaan start-up mulai dari e-commerce, digital media, games, IoT (internet of things) yang mendapat kucuran dana dari Ideosource. Sejak tahun 2017, Ideosource mulai merambah dunia film dan menyalurkan investasinya melalui Ideosource Film Fund (IFF).

“Saya pernah belajar film di Amerika tapi cuma sebentar. Saat itu dunianya belum berkembang semenarik sekarang. Selain itu, saya memiliki lembaga pendidikan, IDS, yang ada jurusan filmnya. Jadi, hubungan dengan industri film tidak ada tetapi masih dekat kaitannya,” terang Andi yang kini menjabat sebagai Managing Partner Ideosource Venture Capital.

Keinginan masuk ke dunia film muncul setelah ia menemukan banyak film Indonesia yang bagus dan menarik seperti Cek Toko Sebelah, Kartini dan sebagainya. Ketertarikan ini mendorong Andi berinvestasi di dunia film. Namun, ia menilai jika berinvestasi hanya pada satu film risikonya cukup besar sehingga ia memutuskan untuk melakukannya secara ‘borongan’.

“Jika berinvestasi pada sepuluh, practically tidak ada risikonya. Itusebabnya saya putuskan untuk masuk investasi ke beberapa (film),” lanjutnya.

Menurut perhitungannya di tahun 2017, dari 120 film Indonesia yang beredar, ada 11 film yang ditonton lebih dari 1 juta penonton. Dengan harga jual tiket Rp35 ribu, maka pendapatan total Rp35 miliar. Produser berhak mendapat separuhnya atau sekitar Rp17 miliar.

“Itu adalah angka industri. Jadi, jika saya berinvestasi satu per satu lebih berisiko tetapi kalau saya berinvestasi secara portofolio, risiko jauh berkurang. Probabilitasnya 1 dibanding 11, dimana akan ada 1 film (dari 10 film) dengan 1 juta penonton,” imbuhnya.

Dalam memutuskan investasi, Andi memiliki beberapa kriteria. Pertama, ia melihat rekam jejak produser dan sutradaranya. Rumah produksinya sudah pernah mengeluarkan karya-karya apa saja. Rekam jejak ini penting untuk keberhasilan investasinya.

“Setelah itu, saya melihat dari segi proyeknya. Film itu dilihat dari paketnya. Apakah dia menggunakan Intellectual property, cast, story yang bagus, dan revenue model make sense, kita jadi tertarik. Kalau di depan, itunya saja tidak menarik, ya, bagaimana kita bisa tertarik,” cetusnya.

Sejauh ini, IFF telah menginvestasikan dananya pada beberapa film seperti Ayat-ayat Cinta 2 (2017), Kulari Ke Pantai (2018), dan beberapa lainnya yang masih dalam penggarapan seperti Aruna & Lidahnya, Keluarga Cemara dan Lagi-lagi Ateng yangakan beredar tahun depan.

Sebagai investor, Andi optimis industri film Indonesia akan terus tumbuh dan berkontribusi kepada sektor ekonomi kreatif. Ia melihat berbagai sektor penting pendukung ekosistem industri film terus bertumbuh.

“Saya melihat jumlah layar di Indonesia bertumbuh sekitar 17 persen setahun. Dari sisi market share, angka itu akan bertumbuhsampai sekitar 10 tahun mendatang.

Tahun lalu, market share film Indonesia mencapai 35 persen. Dari segi OTT (Over-the-top media services/layanan konten mengalirseperti Hooq, iFlix, Genflix dan Mox), sedang tumbuh 19 persen per tahun. Jadi, dari akumulasi dari dua sektor ini dunia perfilman di Indonesia menjadi sangat menarik (bagi investor),” terangnya.

Walau optimis akan perkembangan dan pertumbuhan industri film Indonesia, Andi merasa ada beberapa hal yang perlu dibenahi agar industri ini tumbuh lebih kencang. Salah satunya adalah mengubah mindset para filmmaker mengenai pentingnya marketing.

Dari segi produk, para filmmaker sudah bagus tapi dari segi bisnis masih sangat lemah. Konsep mereka masih membangun produk, bukan membangun intelectual property. Masih banyak filmmaker yang mengabaikan marketing dan melihatnya hanya sebagai pelengkap. Dana besar habis digunakan untuk produksi, mereka tidak berani spending untuk marketing. Filmjadi, baru mereka pikirkan soal marketing. Padahal, seharusnya marketing sudah dimulai bahkansebelum film dibuat.

Andi menambahkan, agar industri film berkembang lebih cepat seorang filmmaker tak perlu mengerjakansemua. Pasalnya, mereka, tidak memiliki skillset yang membuat industri konsisten.

“Harus ada kolaborasi antara rumah produksi dengan orang bisnis. Kalau film ingin dijadikan industri, jangan hanya mengandalkan hati dan passion. Kalau begitu, yang seringterjadi adalah buat film bagus tetapi tidak ditonton banyak orang. Kalau seperti itu, ya untuk apa? Bukannya lebih baik produksi film bagus dan ditonton orang?” ujarnya.

Dengan adanya campur tangan orang bisnis, berbagai faktor di luar kreativitas film termasuk pendanaan film, bisa ditangani lebih baik.

Ia khawatir, jika tidak didukung dengan sistem pendanaan yang baik dan campur tangan orang bisnis, industri film tidak akan sustainable (bertahan lama) dantidak berkembang.

Andi menambahkan, pendapatan film tidak bisa hanya mengandalkan pada penjualan tiket tetapi juga perlu menggali sumber lain seperti sponsor, hak menjual konten ke OTT dan free-to-air tv. Dengan cara ini, risiko bisa di-secure terlebih dahulu.

Sebagai investor, Andi sangat mendukung kehadiran Akatara, forum yang diinisiasi Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), guna menghubungkan para filmmaker dengan investor. Andi mengaku sangat terbantu dengan adanya lembaga ini. Dari sana ia menemukan proyek film yang potensial yang bisa didanai.

“Sebelum Akatara terbentuk, saya sengaja membuat event dengan Bekraf yang mengundang beberapa investor untuk menjelaskan risiko dan potensi industri film. Jadi, bukan mengundang filmmaker-nya. Baru di forum Akatara, saya mengundang filmmaker untuk dicari barang mana yang bagus. So far, ini sudah berjalan dengan bagus. Akatara saya manfaatkan untuk memilih film yang layak untuk diinvestasikan,” ujarnya. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com