Advertorial

Memoles Potensi Lokal Lewat Kolaborasi Kerja Tahunan

Kompas.com - 17/09/2018, 11:03 WIB

Setiap tahun, sebuah tim yang terdiri atas para pelaku kreatif dari berbagai bidang terjun ke daerah untuk menghasilkan produk unggulan bersama para perajin lokal.

Indonesia tak pernah kekurangan energi kreatif. Dari berbagai penjuru negeri, kita bisa menemukan buah kreativitas dalam bentuk aneka jenis produk yang mampu menuai decak kagum, baik dalam skala lokal maupun mancanegara. Mulai dari karya seni rupa, pernak-pernik fesyen, perhiasan, sampai barang dekorasi rumah.

Untuk mendukung pertumbuhan kreasi produk-produk kreatif yang juga memiliki nilai tawar dari segi ekonomi, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) meluncurkan program pendampingan bernama IKKON (Inovasi dan Kolaborasi Kreatif Nusantara) yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga.

IKKON merupakan program tahunan yang menempatkan sekelompok pelaku kreatif ke sebuah wilayah rural di Indonesia, dengan tujuan meningkatkan potensi ekonomi kreatif di daerah yang dikunjungi. Dengan fokus mengembangkan produk kreatif di berbagai daerah, diharapkan cita-cita ekonomi kreatif menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia akan lekas terwujud

Program IKKON sebenarnya menyerupai program live-in alias Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bedanya, jika peserta KKN adalah para mahasiswa yang ingin mendapatkan pengalaman bekerja, peserta IKKON justru terdiri atas para profesional yang sudah berpengalaman di bidangnya masing-masing.

Meski program serupa sudah ada sejak zaman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (sebelum bertransformasi menjadi Bekraf), IKKON sendiri baru mulai diluncurkan Bekraf pada tahun 2016. “Dibandingkan program sejenis di masa lalu, program IKKON lebih ekstensif dan luas jangkauannya,” jelas Ricky Joseph Pesik, Wakil Kepala Bekraf.

Program IKKON memang diproyeksikan mampu mewadahi aneka kegiatan kreatif lintas disiplin, baik untuk para seniman seni rupa, desainer, musisi, pegiat seni pertunjukan, perajin, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar dalam pengembangan ke depan, program IKKON bisa mengakomodir kegiatan kreatif dari berbagai bidang dan sub sektor ekonomi kreatif.

“Dalam pelaksanaannya, diharapkan para peserta IKKON dan masyarakat lokal dapat saling berbagi, berinteraksi, bereksplorasi dan berkolaborasi sehingga masing-masing pihak dapat saling memperoleh manfaat secara etis dan berkelanjutan,” jelas Poppy Savitri, Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif pada Deputi Riset, Edukasi dan Pengembangan-Bekraf.

Selama program IKKON, produk-produk lokal yang masih bersifat tradisional dikembangkan menjadi produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini. Tujuannya adalah untuk menciptakan produk IKKON yang mempunyai daya saing tinggi, berkualitas premium, dan bisa diterima oleh pasar, namun tetap mempertahankan teknik tradisional sehingga kekayaan keragaman kriya tradisional Indonesia tetap terpelihara.

Pada tahun pertama, IKKON menyasar lima daerah, yaitu Brebes (Jawa Tengah), Rembang (Jawa Tengah), Ngada (NTT), Pesawaran (Lampung), dan Sawahlunto (Sumatera Barat). Tahun berikutnya, kegiatan IKKON berfokus di Banyuwangi (Jawa Timur), Bojonegoro (Jawa Timur), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Belu (NTT), dan Toraja Utara (Sulawesi Selatan).

Sedangkan untuk IKKON tahun 2018 yang sedang berlangsung saat ini, tim terjun ke Belitung (Kepulauan Bangka Belitung), Dompu (NTB), Siak (Riau), Singkawang (Kalimantan Barat), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara).

Pemilihan daerah didasari oleh dua parameter, yaitu keinginan daerah tersebut serta kecocokan karakteristik daerah dengan profil yang ditentukan Bekraf. Pada 2018 ini ada 18 pemerintah daerah yang mengajukan diri untuk mengikuti IKKON. Tapi berhubung kuotanya hanya ada lima, proses seleksi pun dilakukan.

“Di antara banyak peminat, Bekraf memilih daerah yang potensi ekonomi kreatifnya sudah kelihatan ada, namun belum banyak mendapatkan dukungan dari sektor swasta. Karya kerajinan di sana belum banyak terdengar dan belum memiliki kanal untuk pemasaran,” jelas Ricky.

Bukan hanya lokasi yang dikunjungi, anggota tim IKKON pun dipilih berdasarkan mekanisme seleksi. Siapa saja yang berminat bisa mengajukan portofolio ke alamat Bekraf. Di antara sekian banyak pelamar, akan dilakukan seleksi berdasarkan portofolio, rekam jejak, review kurator, wawancara, dan tes tertentu.

Agar komunitas perajin bisa mendapatkan banyak masukan dan sudut pandang yang lebih kaya, anggota tim IKKON yang terjun ke daerah terdiri atas pelaku kreatif dari berbagai bidang, mulai dari antropolog, desainer dari berbagai disiplin ilmu, fotografer, hingga videografer.

Setiap program IKKON di setiap daerah memang dirancang secara kustom, sesuai dengan karakteristik produk dan daerah masing-masing. “Jadi program ini sifatnya bottom-up, diterapkan berdasarkan masukan dan hasil diskusi dengan para pelaku kreatif setempat. Bukan top-down,” jelas Ricky.

Selanjutnya, program IKKON dilakukan dalam 4 tahap pemberangkatan, yang setiap tahapnya memiliki rentang waktu live-in sekitar 1-2 minggu. Selama rentang waktu tersebut, tim IKKON yang merupakan fasilitator mesti tinggal di daerah yang ditentukan dan melakukan aktivitas sehari-hari bersama komunitas perajin.

Tahap pertama adalah masa observasi dan diskusi dengan pelaku kreatif setempat, mengenai produk apa saja yang bisa dilahirkan dari potensi lokal. Tahap kedua adalah pembuatan program kegiatan dan rancangan produk, tahap ketiga fase produksi, dan tahap keempat adalah pameran produk hasil kolaborasi.

Potensi daerah yang dikunjungi terkadang baru tampak ketika peserta IKKON berinteraksi dengan masyarakat setempat. Ambil contoh pengalaman Sugeng Untung, desainer furnitur yang menjadi ketua tim IKKON 2016 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Dikenal sebagai kota tambang yang sudah mati, Sawahlunto memiliki potensi tenun Silungkang. Setelah ditelusuri, ternyata selain tenun, Sawahlunto juga punya potensi kreatif lain seperti rotan dan batu bara.

Dengan memanfaatkan potensi lokal, kami membuat inovasi menggabungkan tenun dan rotan untuk dijadikan produk seperti pelapis sofa dan bahan tas. Kami juga menggunakan batu bara sebagai pewarna untuk membuat kaos motif tie dye,” jelas Sugeng.

- -

Setelah selesai dibuat, produk hasil kolaborasi IKKON dipamerkan di daerah setempat, untuk memperkenalkan masyarakat pada hasil karya daerahnya sendiri. Selanjutnya, dengan bantuan Deputi Pemasaran Bekraf, produk-produk tersebut akan dipromosikan melalui berbagai kesempatan pameran maupun penjualan, baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, Bekraf memfasilitasi produk ini untuk mengikuti ajang penjualan skala nasional seperti Inacraft, Trend Expo, dan lain-lain.

Di luar negeri, “lulusan” program IKKON juga mencetak prestasi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Produk kerajinan bambu dari IKKON angkatan pertama berhasil meraih penghargaan The Best Show di Chiang Mai Design Week 2016, Thailand. Ada pula kreasi batik yang lolos kurasi pameran Salone del Mobile Milano 2017 di Italia. Yang terbaru adalah keikutsertaan peserta IKKON dalam ajang eksibisi bergengsi New York Now 2018 di Amerika Serikat.

Memasarkan produk kreatif ke mancanegara memang seringkali tantangannya lebih berat ketimbang memasarkan produk di dalam negeri. Salah satu poin yang menjadi kelemahan para pelaku kreatif dalam tahap pemasaran adalah kemampuan untuk menciptakan sekaligus mengkomunikasikan nilai tambah berupa cerita tentang proses kreatif di balik terciptanya sebuah produk.

Padahal, menurut Joshua Puji Mulia Simandjuntak, Deputi Pemasaran Bekraf, penuturan cerita inijustru merupakan salah satu elemen dalam marketing tool yang amat penting. “Banyak pelaku kreatif yang berkutat pada fungsi, penampilan, dan lain-lain, sehingga lupa pada story telling. Padahal pasar, terutama pasar di luar negeri, ingin mendengar kisah di balik penciptaan sebuah produk kreatif. Mengapa produk ini dibuat, mengapa bentuknya begini, mengapa pakai material ini, siapa sosok yang membuat, dan sebagainya,” jelas Joshua.

Tantangan lain dalam memasarkan produk lokal ke luar negeri adalah kemampuan untuk memenuhi standar sertifikasi. Misalnya sertifikat SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) untuk produk kerajinan dari kayu. Sertifikat tersebut diperlukan untuk meyakinkan pembeli bahwa bahan baku kayu yang digunakan diperoleh secara legal, bukan hasil pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal.

Sebagai kelanjutan dari program IKKON, Bekraf memfasilitasi berdirinya Koperasi Karya Ikkon Bersama (KOPIKKON). Wadah ini merupakan mitra Bekraf dalam melanjutkan keberlangsungan kolaborasi dan pemberdayaan yang telah dilakukan oleh desainer dan perajin alumni IKKON, untuk mengeksplorasi lebih lanjut poin-poin kreatif yang muncul selama mengikuti proses IKKON, dan kemudian menyalurkannya ke pasar.

“Targetproduk KOPIKKON tentu sejalan dengan target Bekraf, yaitu meningkatkan PDB (Produk Domestik Bruto) di suatu daerah, menambah lapangan kerja, dan menggenjot keran ekspor. Produk-produk yang dihasilkan melalui intervensi desain dalam program IKKON tidak hanya menyasar pasar lokal, tetapi juga global,” jelas Sylvie Arizkiany Salim, Ketua KOPIKKON yang juga seorang desainer interior, desainer produk, sekaligus desainer grafis. Sylvie juga merupakan alumni dan ketua tim IKKON Brebes 2016.

KOPIKKON berdiri dengan mengusung lima nilai kunci, yaitu kolaborasi, pemberdayaan, perdagangan yang adil (fair trade), adanya kandungan material bernilai lokal (local content & local value), serta desain yang berkualitas. Dengan nilai-nilai ini, perajin lokal sebagai pencipta ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan desainer atau tim IKKON profesional lainnya.

Sejauh ini, KOPIKKON telah menandatangani MOU dengan Kopinkra (Koperasi Kerajinan Rakyat Silungkang) di Sawahlunto, Sumatera Barat, untuk berkolaborasi dalam mengembangkan produk ekonomi kreatif di sana.

Sekarang ini KOPIKKON sudah menghimpun produk-produk premium dari berbagai daerah hasil kolaborasi antara perajin setempat dengan peserta IKKON. Beberapa di antaranya adalah brand Rising Salem (Brebes), A Journey (Lampung), Coal Jewelry (Sawahlunto), Side by Side dan Tenun Berotan (Sawahlunto). Ada pula brand USing (Banyuwangi) yang lahir dari kolaborasi KOPIKKON dan Bank Indonesia (BI) dalam membina dan mengembangkan produk perajin BI.

Dalam rangka mempromosikan produk kreatif yang berada di bawah naungannya, bulan Maret lalu KOPIKKON mempersembahkan gelaran “Archipelago X” pada Signature Runway Indonesia Fashion Week 2018. Konsep Archipelago X berangkat dari makna kepulauan pada kata “archipelago” dan makna kolaborasi di 10 wilayah binaan IKKON 2016 dan 2017, yang dicerminkan dengan huruf “x”.

Gelaran Archipelago X ini mendapatkan apresiasi tinggi karena mampu menghadirkan busana modern dalam balutan wastra dari berbagai pelosok tanah air. Meski tampil dengan rancangan bergaya “kekinian”, namun nilai-nilai kearifan lokal dan kekayaan kriya nusantara tetap terwujud dalam proses pembuatan serta corak dan ragam motifnya.

Uniknya, proses pembauran tersebut juga muncul dalam bentuk asimilasi antara nilai-nilai lokal yang dipegang oleh perajin setempat dengan nilai-nilai pribadi para peserta IKKON.

“Sebelum mengikuti IKKON, sebagai desainer, saya sangat idealis. Tetapi pasca IKKON, saya belajar menurunkan ego dan sama-sama bekerja dalam satu tim. Program live-in ini mengajarkan semua pihak yang terlibat untuk mengembangkan sikap kolaboratif, inovatif dan kreatif. Bagi saya, bekerja sama dengan perajin lokal memberikan kebanggaan akan lokal konten Indonesia yang beragam,” jelas Ika Yulianti, desainer grafis yang ditempatkan di Ngada pada 2016.

Selain Indonesia Fashion Week, beberapa event nasional yang pernah digunakan untuk menampilkan dan mempromosikan karya peserta KOPIKKON antara lain adalah Gelar Batik Nasional 2017, Inacraft 2017, Bekraf Festival 2017, MayBank Fair 2018, Indonesia Fashion Week 2018, Adiwastra 2018, Inacraft 2018, dan Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2018.

- -

Rencana ke depannya, menurut Ricky, adalah membuat modul tata laksana, atau semacam “buku putih” yang berisi panduan pelaksanaan program IKKON. Dengan demikian, kegiatan ini juga bisa dilakukan oleh pihak swasta yang berminat menjadi sponsor.

“Kami menyambut secara terbuka pihak swasta yang ingin turut serta mengembangkan potensi lokal di Indonesia. Pasalnya, masih ada banyak sekali wilayah Indonesia yang belum tergarap program IKKON, akibat keterbatasan sumber daya serta anggaran. Jika ada banyak pihak lain yang bersedia berkolaborasi melaksanakan program ini, akan semakin cepat pula kita bisa membangkitkan kekuatan ekonomi kreatif di berbagai penjuru tanah air,” tutup Ricky.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com